Buku ‘Mereka Hilang Tak Kembali’ memiliki subjudul yang berbunyi “Sejarah Kekerasan Orde Baru 1966-1998”. Begitu membaca tulisan tersebut aku bersemangat untuk membaca karena itulah yang aku perlukan. Blurb-nya makin membuat aku tertarik.
Di blurb dituliskan tragedi apa saja yang dibahas dalam buku karya Aristayanu Bagus, A. S. Rimbawana, Deby Hermawan, dan Putro Wasista ini. Para penulis memiliki latar belakang ilmu sejarah maupun jurnalistik serta berpengalaman dengan dunia perbukuan. Tragedi-tragedi tersebut adalah Peristiwa ’65; Malari (1974); konflik panjang di Aceh, Timor Timur, dan Papua; Petrus (1982-1985); Tanjung Priok (1984); Talangsari (1989), Kudatuli (1996) dan penculikan aktivis (1997-1998); geger “dukun santet” (1998-1999); Trisakti (1998); dan Semanggi I & II (1998-1999).
Banyak banget...
Tragedi-tragedi tersebut diceritakan secara runut dan lugas sehingga mudah dipahami di buku yang diterbitkan oleh EA Books dengan jumlah halaman xxii + 211 di cetakan pertama September 2025 ini. Pertanyaan tentang apa dan mengapa bisa terjawab seiring bertambahnya halaman yang dibaca. Dulu ketika aku membaca novel 'Laut Bercerita', aku bertanya-tanya apa itu peristiwa Kudatuli tahun 1996 karena hanya disinggung sekilas dan tidak ada penjelasannya di dalam novel. Nah, penjelasannya ada di buku ‘Mereka Hilang Tak Kembali’.
Bab Prolog menjelaskan mengapa buku ini ditulis. Karena ya itu tadi, terlalu banyak tragedi pertumpahan darah yang terjadi selama Orde Baru berkuasa. Tragedi-tragedi tersebut dibisukan bersama dengan nama-nama korbannya. Mereka adalah suara yang dipaksa hilang dan ingatan yang sengaja dikubur karena tidak pernah dicatat kekuasaan. Ditambah dengan di awal tahun ini muncul proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang digagas oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dan organisasi profesi sejarah, Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI).
Tbh it’s hard to trust the government dengan segala rekam jejak yang ada.
Bab pertama membahas tentang Tragedi ’65 dan PKI. Penjelasan yang ada di buku ini tidak bertentangan dengan isi buku ‘Upheaval’ yang pernah aku baca beberapa waktu lalu. Aku juga sudah beberapa kali membaca fiksi sejarah bertema peristiwa yang terjadi di tahun 1965 seperti 'Entrok', 'Pulang', 'Namaku Alam 1', 'Cantik Itu Luka', 'Gadis Kretek', dan 'Amba'. Jadi, aku tidak terlalu asing ketika membaca bab pertama buku ‘Mereka Hilang Tak Kembali’. Pengetahuan-pengetahuan baru mengenai tragedi-tragedi lain di masa Orde Baru aku dapatkan dari bab-bab selanjutnya.
Bab kedua membahas tentang peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974 di Jakarta dan menjelaskan bagaimana peran militer dalam ekonomi dan politik Indonesia. It makes sense mengapa para jenderal kaya raya dan mengapa gerakan mahasiswa dapat dipetakan oleh militer.
Bab ketiga membahas tentang konflik-konflik panjang di Aceh, Timor Timur (sekarang Timor Leste), dan Papua. Buku ini membahas mengapa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir, apa nilai-nilai yang dipegang oleh GAM, dan mengapa Jawa menjadi pulau yang paling berkembang menurut GAM. Aku ketika masih kecil dulu sering mendengar berita tentang GAM di televisi tapi nggak paham dengan apa yang terjadi di sana. Melalui buku ‘Mereka Hilang Tak Kembali’ ini akhirnya aku tahu tentang hal tersebut.
Waktu masih kecil dulu juga aku ingat rame banget berita tentang Presiden Habibie dan Timor Leste yang lepas dari Indonesia. Aku dulu nggak tahu kenapa hal tersebut ramai diberitakan. Sebagai bocil ingusan, aku ingat rasa sedihku karena “yah...berkurang satu deh provinsi Indonesia” tanpa tahu sejarahnya bagaimana Timor Leste bisa menjadi bagian dari Indonesia. Pernah juga mendengar nama Xanana Gusmao yang ternyata adalah petinggi partai beraliran Marxis di Timor Leste.
Antikomunis sangat kental dengan image pemerintahan Orde Baru. Begitu pun dengan sentralistik, komando pusat, dan penguasaan kekayaan negara baik itu dari provinsi-provinsi yang sudah ada, dari provinsi yang mau memisahkan diri, maupun dari provinsi yang digabung paksa. Tapi manfaat dari kekayaan negara tersebut hanya untuk YTTA bukan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Banyak rakyat Indonesia yang tetap miskin. Yang kaya ya para jenderal.
Hubungan dengan Tiongkok juga ditutup pada masa pemerintahan Orde Baru. Anehnya, pemerintahan sekarang ada bau-bau Orde Baru tapi hubungan dengan Tiongkok lancar jaya berjalan. Sebenernya arah politik Indonesia mau dibawa ke mana? Dari dulu ganti-ganti terus dan nggak jelas. Yang jadi korban siapa? Silakan jawab sendiri.
Santa Cruz juga dijelaskan juga di buku ‘Mereka Hilang Tak Kembali’. Jadi, nggak perlu cari dari sumber luar. Santa Cruz disinggung di bagian mengenai Aceh. Aku kira Santa Cruz merujuk ke nama kota di Chile. 😭
Sejarah Papua pun dibahas secara jelas di buku ini (termasuk berdirinya Freeport). Sebagai generasi yang lahir jauh setelah Papua berintegrasi dengan Indonesia, selama membaca bab ini aku ingin teriak ke kuping penyelenggara negara pada masa itu: MAKANYA MAKMURKAN RAKYAT YANG DI SANA. 😑 Jangan cuma kebagian ampasnya aja. 😑 Tanggung jawab dong dengan Pepera yang dibuat sendiri itu. 😑
Di bagian yang menjelaskan cara licik membiarkan tahanan politik (tapol) lari lalu dibunuh, karena penahanan lama dan interogasi katanya memakan biaya yang mahal, aku pingin marah: YA KAN ELO DIKASIH ANGGARAN BANYAK??? Ke mana larinya anggaran itu??? 😑
Lalu disinggung pula tentang Gus Dur dan Bintang Kejora (sampai cari sendiri artikel tentang hal tersebut di laman Tempo). Orang berilmu di negara ini kalah dengan orang yang pegang senjata. 💔
Bab keempat membahas tentang Petrus di tahun 1982 sampai 1985. Tato di tahun 1983, kenapa tiba-tiba menjadi lambang kekerasan? Traumanya apa Kak @ pemerintah Orde Baru. Mendapatkan kekuasaan dengan cara merebut dengan tidak baik tuh gitu ya. Parnoan. Apa-apa dicurigain. Elu menyerukan aksi anti kekerasan tapi elu meredamnya dengan kekerasan juga tuh gimana konsepnya???
Sejarah preman dari masa kolonial sampai Orde Baru juga dibahas di bab empat. Mind blown banget bacanya. Himbauan ke masyarakat untuk tetap tenang di tengah kegiatan pemerintah “menumpas kejahatan” juga selalu dilakukan. Kayak...??? YA MANA BISA TENANG KALO ADA PENEMBAKAN MISTERIUS. 😑 Heran. 😑 Ya elu lah bikin solusi yang damai biar masyarakat tenang. Itulah perlu dan pentingnya adab, ilmu, dan meritokrasi untuk menjalankan pemerintahan. Bukan melulu harus dengan senjata dan kekerasan. 😑
Bab kelima membahas tentang peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Masyarakat kelas bawah menyuarakan kondisi ekonomi yang makin buruk di era Orde Baru. Wajar dong ya berkeluh kesah. Yang nggak wajar itu ketika isunya berkembang menjadi isu agama dan PKI lalu berujung pada kekerasan dan penangkapan warga sipil.
Playbook-nya sama. Playing victim padahal menyerang duluan pakai senjata ke rakyat yang tanpa senjata, yang ditangkap disuruh mengakui "barang bukti" berupa senjata, ada penyitaan buku, ada penyiksaan orang yang ditangkap supaya menyerah dan “mengaku”, dan penciptaan rasa aman tapi tindakannya kontradiktif.
Di bab ini juga menyinggung tentang mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Aku pernah nemu buku pelajaran PMP punya kakak dan tulisan PMP di ijazah sepupu yang lahir tahun 1970-an. Ternyata PMP adalah salah satu penerapan program Pedoman Penghayatan dan Pegamalan Pancasila (P4) buatan pemerintah. Negara menjadi satu-satunya pihak yang berhak menafsirkan Pancasila sebagai pedoman kebenaran yang absolut dan mengikat. PMP diberlakukan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ada juga informasi tentang enam juta orang telah ditatar P4 pada masa itu. Aku dulu waktu masih kecil pernah dengar istilah “penataran”.
Bab keenam, ketujuh, dan kedelapan berturut-turut membahas peristiwa Talangsari tahun 1989; Kudatuli tahun 1996, penculikan aktivis selama 1997 sampai 1998, geger “dukun santet” tahun 1998-1999; dan Semanggi I dan II tahun 1998 sampai 1999. Ninja juga dibahas di sub-bab dukun santet. Again, waktu kecil dulu aku ingat bapakku dan bapak-bapak lain di kampung membicarakan tentang ninja. But again as a bocil ingusan, aku nggak paham konteksnya apa pada waktu itu.
Pembunuhan Marsinah dibahas di bab ketujuh. Marsinah adalah buruh perempuan yang menuntut haknya sebagai pekerja. Dia lalu dibunuh dengan kejam. Tuntutannya A, hasil penyelidikannya Z. Gantik topik ke cinta segitiga lah apa lah, kayak...??? Nggak nyambung dan sangat mencurigakan.
Bab ketujuh dan kedelapan membahas turunnya sang tiran setelah berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Pemerintahannya dikoyak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang ia dan golongannya lakukan. Internet juga mulai berkembang sehingga informasi bisa disampaikan lebih luas.
Bab Epilog dan Post-script membahas tentang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dan Aksi Kamisan. Keresahan penulis (yang juga harus menjadi keresahan kita semua) terkait dengan penghapusan sejarah oleh penguasa juga dituangkan dalam bab-bab ini. Buku ini menjadi upaya penulis supaya kita terhindar dari amnesia kolektif tentang sejarah berdarah yang pernah tumpah di negeri ini. Harapannya supaya masa-masa tersebut tidak pernah bangkit dan terulang kembali.
Buku ‘Mereka Hilang Tak Kembali’ melengkapi informasi yang selama ini aku dapat kebanyakan tentang peristiwa di tahun 1965 dan 1998 saja. Di antara periode tersebut tidak banyak informasi yang aku dapat. Buku ini merangkumnya dengan baik. Hanya ada sebagian kecil kesalahan ketik yang tidak mempengaruhi substansi dan bisa diperbaiki di cetakan berikutnya.
Aku mendapatkan banyak pengetahuan tentang kosakata yang tidak aku ketahui sebelumnya seperti despot, subversi, impunitas, beleid, dan masih banyak lagi. Aku juga jadi tahu perbedaan amnesti dan abolisi setelah dua kata tersebut muncul di dalam buku ini dan aku mencari deskripsinya apa. Kosakata-kosakata lain seperti laten, kontestasi, dan membuncah yang sebelumnya aku maknai sendiri, ternyata bermakna lain setelah aku cari tahu arti sesungguhnya.
Bibliografi atau daftar pustaka berupa media baca dan media visual dijabarkan di dalam bab Catatan Bibliografi. Dari beberapa daftar buku yang tertulis di bab tersebut aku penasaran ingin membaca ‘Metode Jakarta’ oleh Vincent Bevins dan ‘Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan’ oleh Matt Easton. Overall, ‘Mereka Hilang Tak Kembali’ is the book that I know I’ll wanna re-read in the future.
*

No comments :
Post a Comment
Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.