Thanks to my niece yang udah minjemin dua novel ini dan ngasih saran buku mana dulu yang harus dibaca. Novel Pulang dirilis tahun 2012, sementara Namaku Alam 1 dirilis sebelas tahun kemudian, tapi kata ponakanku lebih baik baca Namaku Alam 1 dulu supaya lebih nyambung ketika baca Pulang. And I trust her and here is the review.
Namaku Alam 1 menceritakan tentang hidup seorang anak bernama Alam. Alam lahir di tahun 1965, tahun di mana peristiwa G30S terjadi. Tiga tahun kemudian dia kehilangan bapaknya.
Hidup Alam dan keluarganya (ibu dan dua kakak perempuannya, Kenanga dan Bulan) harus senantiasa merunduk pasca 1965. Banyak sekali kesempatan yang terenggut dari orang-orang seperti keluarga Alam. Tidak jarang juga mereka mendapat cemoohan sebagai pengkhianat negara.
Alam yang pada saat itu masih kecil sering bertanya kenapa bapaknya meninggal dan dijuluki pengkhianat negara, kenapa orang tuanya dihina? Pertanyaan yang sangat menyayat hati dari mulut seorang anak kecil.
Kakak Ibu Alam memiliki suami seorang tentara dan Alam sering bergesekan dengan anak dari kakak Ibunya tersebut. Alam memiliki kakak-kakak perempuan yang mampu meredam emosinya yang meluap-meluap. Kenanga, kakak tertua Alam, terpaksa harus punya pikiran dewasa sebelum waktunya karena dia menyaksikan bagaimana tidak manusiawinya pihak-pihak yang menginterogasi orang-orang yang diduga berhubungan dengan golongan kiri.
Reaksiku setelah selesai membaca Namaku Alam 1 adalah...hampa. Segitunya banget pemerintah pada masa itu menjalankan pemerintahannya. Ini lho ada anak usia tiga tahun ditodong pistol!
Mereka yang menggrebek memang tidak menyangka kalau anak dari "buronan" yang mereka buru masih balita. Kayak...??? Kenapa sih nggak kroscek dulu? Kenapa nggak menyelidiki dulu dengan teliti? Kenapa harus agresif terus??? Ini yang dilawan tuh rakyat sipil tanpa senjata lho. Seorang ibu, dua anak remaja, dan satu balita. Astaga.
Hidup mereka berempat kesusahan karena stigma. Padahal keluarga Alam ini termasuk priyayi. Keluarga dokter. Bayangkan kalau bukan dari keluarga berada, bagaimana nasibnya? Ya itu ada di novel Entrok. *pusing*
Di masa SMA, Alam tergabung dengan klub pencatat sejarah. Tugas mereka adalah mengumpulkan fakta-fakta sejarah agar tidak terkubur dengan sejarah yang disusun oleh penguasa yang memiliki agenda tertentu. Tragedi 1965 menyisakan banyak pertanyaan.
Novel Namaku Alam 1 belum selesai, masih ada lanjutannya tetapi entah kapan akan dirilis oleh penulisnya. Namaku Alam 1 adalah novel karya Leila S. Chudori. Novel yang ada di aku merupakan cetakan keempatbelas, Juni 2025. Namaku Alam 1 memiliki ketebalan 438 halaman.
Tiap bab di novel Namaku Alam 1 dilengkapi dengan ilustrasi yang digambar oleh Toni Masdiono. Gambar-gambar Pak Toni di novel ini mengingatkanku pada gambar-gambar yang ada di buku pelajaran kakak kelas SD-ku dulu.
Lanjut ke novel Pulang.
Novel Pulang (karya Leila S. Chudori) yang aku baca adalah cetakan ketiga puluh lima, Juni 2025. Novel ini memiliki 460 halaman. Sama dengan novel Namaku Alam 1, tiap bab di novel Pulang juga dilengkapi dengan ilustrasi. Ilustrasi isi yang ada di novel Pulang adalah karya Daniel "Timbul" Cahya Krisna.
Pulang bercerita tentang kehidupan para eksil di Paris. Mereka adalah Dimas Suryo, Nugroho, Risjaf, dan Tjai. Dimas dan Nugroho memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh yang diceritakan di Namaku Alam 1. Mereka berempat juga adalah sabahat dari Hananto Prawiro, ayah Alam.
Keempat eksil tersebut awalnya adalah WNI, kewarganegaraan mereka dicabut pasca tragedi 1965. Dimas Suryo bersama dengan tiga kawannya jatuh bangun untuk bertahan hidup sebagai orang-orang yang stateless. Dimas Suryo sangat merindukan tanah airnya. Hatinya masih bertaut erat dengan Indonesia. Dia tidak terafiliasi dengan golongan tertentu namun ikut menjadi stateless hanya karena menghadiri sebuah konferensi yang dianggap berbahaya oleh pemerintah.
Tidak hanya generasi Dimas Suryo yang diceritakan di novel Pulang, ada pula Lintang, anak Dimas, yang harus meliput pengalaman korban tragedi 1965 untuk tugas akhir kuliahnya. Dia berangkat dari Paris ke Jakarta di bulan Mei 1998. Karena sudah membaca Laut Bercerita, selama membaca kegiatan Lintang di Jakarta, aku teringat dengan kisah Laut dan teman-temannya.
*
No comments :
Post a Comment
Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.