November 18, 2025

Trilogi Rapijali: Mencari, Menjadi, dan Kembali

Rapijali. Satu kosakata yang pertama kali aku tahu dari Twitter. Waktu itu aku nggak tahu kalau Rapijali adalah sebuah karya fiksi berseri karya Dee Lestari. Ketika tahu bahwa Rapijali adalah cerita berseri, yang ada dalam bayanganku adalah pria seperti Wak Doyok, tbh. I had no idea at all back then.

πŸ™‡‍♀️πŸ™‡‍♀️πŸ™‡‍♀️

And I also had no interest on Rapijali at all back then.

Seorang teman mempunyai novel Rapijali di rak buku di rumahnya, tetapi aku belum ada niat untuk meminjamnya karena aku tidak ada gambaran apa pun tentang novel tersebut. Bahkan untuk mencari novel tersebut tentang apa di internet pun tidak terpikirkan.

Seiring berjalannya waktu, teman yang lain juga punya novel Rapijali di rumahnya. Kali ini aku tergerak untuk meminjam walau masih juga belum tahu ceritanya tentang apa. Aku meminjam bukunya hanya berbekal nama penulisnya, yaitu Ibu Suri Dee Lestari. Aku sudah pernah membaca beberapa karya beliau dan merasa cocok dengan gaya menulisnya yang menurutku indah, mudah dimengerti, dan enak saat membacanya alias tidak merasa tersendat-sendat dan tidak membuat alis berkerut.

Sebenarnya aku meminjam beberapa buku dari teman tersebut, namun yang tidak DNF hanyalah Rapijali: Mencari (buku pertama) dan Rapijali: Menjadi (buku kedua). Rasanya aku tersedot ke dalam dunia Ping yang mengasyikkan. Aku ketagihan karena ceritanya seru untuk disimak. Aku akhirnya membaca semua seri Rapijali.

Thanks to mba Dhita and Lia, so I could finish all the Rapijali trilogy.

Trilogi Rapijali bercerita tentang kisah hidup seorang anak perempuan dari Batu Karas bernama Ping. Ping terpaksa merantau ke Jakarta karena masalah keluarga. Di Jakarta dia bersekolah di sekolah bagus, berteman dengan anak-anak dari beragam latar belakang, bermain musik, jatuh cinta ala anak remaja, mewujudkan mimpi, dan melanjutkan hidup. 

Apakah semuanya berjalan dengan mulus? Tentu saja tidak ghes.

Di buku Rapijali: Mencari, Ping merasa kesepian di lingkungan baru. Dia bertanya-tanya mengapa kakeknya menyuruhnya untuk tinggal di Jakarta dengan keluarga yang tidak dia kenal. Selain merasa asing di dalam rumah, Ping juga merasa terasing di sekolah. Tidak mudah baginya untuk berteman di sekolah barunya tersebut.


Konflik remaja SMA di buku pertama, berkelindan dengan rapi dengan konflik politik dan keluarga yang terjadi di antara orang-orang dewasa di sekitar Ping dan kawan-kawannya. Konflik politiknya dikemas dengan ringan. 

Yang kurang aku pahami adalah ketika Dee Lestari menuturkan tentang musik dari aspek teknis. Sebagai seorang tone deaf, tentu saja aku kesulitan membayangkan irama musik dan lagu yang ada di dalam Rapijali: Mencari. Makanya aku pingin banget trilogi ini ada versi visualnya supaya aku bisa melihat wujud penampilan dan lagu-lagu yang ada di dalam cerita.

Rapijali: Menjadi, alias buku kedua, masih menceritakan Ping dan teman-temannya di masa SMA. Bedanya, buku kedua ini mulai banyak konflik yang memuncak lalu meletus dar der dor. Tidak hanya konflik Ping dengan kisah cinta masa remajanya, tetapi juga Ping dengan orang-orang dewasa di sekitarnya.


Rapijali: Kembali menjadi penutup dari trilogi. Aku nggak nyangka dengan latar waktu buku ketiga ini. Amazed banget dengan kurun waktunya. Aku jadi semangat sekali ketika membaca karena penasaran dengan apa yang terjadi kemudian dengan para tokoh ini.


Dari buku pertama pun, Dee Lestari sudah sangat piawai menyusun kata-kata dalam cerita yang membuat pembaca sepertiku penasaran karena kalimat-kalimatnya tidak secara gamblang menjabarkan maksudnya. Kalimat-kalimat tersebut disusun sedemikian cantik sehingga walaupun tidak secara langsung menyuratkan artinya, aku bisa memahami makna tersiratnya.

Sebuah contoh paragraf yang kalimatnya cantik😍

Di buku ketiga ini, I can relate dengan rasa lonely dan clueless yang dirasakan oleh salah satu tokohnya. Sampai-sampai dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri "What's wrong with me?", ya karena memang nggak tahu yang salah siapa dan di mana letak salahnya. Mau cerita pun nggak tahu mau mulai dari mana karena ya memang nggak tahu. Aku menduga karena kami sama-sama sudah bekerja, sih.

Ngomong-ngomong soal bekerja, di dalam novel ketiga juga digambarkan bahwa dunia ini hanyalah sawang sinawang. Orang lain terlihat bahagia dengan pekerjaanya, padahal ya dalam pekerjaan tersebut pasti ada halang rintang mau sesesuai apapun pekerjaan dengan passion-nya. 

Tidak ada karir yang semulus jalan tol bahkan untuk tokoh yang sangat ber-privilege sekalipun. Yang ber-privilege aja begitu, apa lagi yang nggak ber-privilege, wkwkwkwk. Ada semua di Rapijali: Kembali ini, semua tokoh ada aja cobaan hidupnya.

Kutipan yang aku favoritkan dari novel Rapijali: Kembali adalah #QOTD by Uda Hambali berikut:


Oh iya biar nggak lupa, aku mau nulis nama-nama tokoh krusial dalam trilogi Rapijali, yaitu Rakai, Ping, Jemi, Buto, Lodeh, dan Inggil. Aku suka banget dengan duo Buto dan Inggil. Mereka kalau bertemu tuh suka berantem, suka capek satu sama lain, tapi nyambung dan seru untuk disimak. πŸ˜†

Kepercayaan diri, skill public speaking, dan penguasaan panggung Lodeh juga bikin aku kagum sih. Kayak...kok bisa ya lancar gitu ngomongnya di depan kamera. Pingin deh punya kemampuan seperti itu biar jadi content creator video yang luwes, wkwkwkwk.

Selain mereka berenam ada juga Ira Surya, Don Surya, Yuda Alexander, Guntur, Ardi, Sarnita, Dahlia, Leonard Hartanto, Melati, Fransiskus Maramis, Fransiska, Weni, Nyak Siti, dan Kuswoyo. Oding Mulyana juga ada, ini tokoh penting tapi kelupaan wkwkwkwk gimana sih.

Acep, Lilis, Dayu, Lilo, Ines, Pedro Mauressy, Sosha, Andrea, dan masih banyak lagi. Yang nggak aku sebutkan berarti aku lupa siapa yang mana, huhuhu. Overall, walaupun tokohnya banyak, aku nggak bingung dengan jalan cerita yang melibatkan tokoh-tokoh yang aku ingat tersebut.

Sudahkan kamu membaca trilogi Rapijali? How's your point of view about it?


*

P.S.
Di buku pertama dan kedua, Ping dan Oding terkesan logis sekali dalam menyikapi sebuah fenomena. Namun, di buku ketiga, sepertinya ceritanya shifting menjadi lebih mengandalkan intuisi walaupun sama-sama mengandalkan indera pendengaran.


**

No comments :

Post a Comment

Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.

Back to Top