May 21, 2022

#JanexLiaRC: Bagaimana Si Miskin Mati?


Buku berjudul 'Bagaimana Si Miskin Mati?' ditulis oleh George Orwell, diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Widya Mahardika Putra, dan diterbitkan Penerbit Diva Press. Buku ini memiliki 282 halaman di cetakan pertama bulan April 2019.

BUKUNYA TENTANG APA?
Buku ini merupakan kumpulan esai George Orwell yang pernah diterbitkan di beberapa media cetak dalam kurun waktu 1930-an sampai 1940-an. Judul-judul esai tersebut adalah Hukuman Gantung, Menembak Seekor Gajah, Marrakesh, Kenangan di Toko Buku, Pengakuan Seorang Pengulas Buku, Puisi dan Mikrofon, Politik dan Bahasa Inggris, Mengapa Saya Menulis, Pusat Hiburan, Bisakah Para Sosialis Berbahagia, Renungan Tentang Katak, Bagaimana Si Miskin Mati, Catatan Kecil Tentang Peradaban, Catatan Tentang Nasionalisme, Anda dan Bom Atom, Dendam Itu Pahit Rasanya, Sayangnya Dunia Tak Sesederhana Itu, Semangat Olahraga, Di Depan Mata Kita, dan Betapa Indahnya Masa Kecil Saya. Totalnya ada dua puluh esai.

George Orwell bernama asli Eric Arthur Blair (1903-1950). Ia pernah menjadi polisi imperial Inggris di Burma, hidup miskin di Paris dan London, serta bertempur dalam Perang Saudara Spanyol. Tema yang dibawakan oleh George Orwell di buku ini tidak jauh-jauh dari politik, imperialisme, dan kesusastraan. Tidak semua esai dituliskan dengan gaya non-fiksi, ada beberapa esai yang diceritakan layaknya cerpen.


KESAN
Saya tertarik membaca buku ini karena judulnya. Saya pikir buku ini buku fiksi seperti Animal Farm. Ternyata bukan. 😅

Saya cukup menikmati beberapa esai dari buku ini, terutama Hukuman Gantung, Menembak Seekor Gajah, Pengakuan Seorang Pengulas Buku, Renungan Tentang Katak, dan Bagaimana Si Miskin Mati. Sedangkan tulisan lain yang menurut pandangan saya benar-benar pure berisi penjelasan paham-paham politik seperti Bisakah Para Sosialis Berbahagia, tidak terlalu bisa saya nikmati. Kalau kamu penggemar politik, bisa jadi akan lebih bisa klop dengan buku ini.

Hukuman Gantung menceritakan bagaimana George Orwell menyaksikan eksekusi terhadap seorang tahanan tempat dia bertugas sebagai polisi imperial. Begitu pula dengan Menembak Seekor Gajah, ditulis berdasarkan pengalamannya ketika menjalani profesi tersebut di Burma. Pengakuan Seorang Pengulas Buku menceritakan behind the scene pekerjaan seorang books reviewer yang harus mengerjakan tugas menggunung dalam waktu yang singkatnya nggak masuk akal. Renungan Tentang Katak menjadi tulisan yang paling saya favoritkan dari yang favorit-favorit karena bertema alam dan dihubungkan dengan kondisi politik saat itu. Sedangkan Bagaimana Si Miskin Mati, ditulis oleh George Orwell berdasarkan pengalamannya ketika dirawat di sebuah rumah sakit di Perancis. Rumah sakit tersebut dia katakan tidak layak untuk merawat orang sakit, tapi apa boleh buat kalau tidak punya uang ya hanya rumah sakit tersebut yang bisa menampung.

Karena latar waktunya ada di masa Perang Dunia II dan tidak di Indonesia, saya hanya bisa ber-hmmm dan ber-ooh saja ketika mendapat cerita yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya jadi tahu bagaimana keadaan politik dunia dari sudut pandang seorang warga negara maju. Rasanya seperti bisa membatin, "Ooh jadi begitu yang terjadi di luar negeri sana. Kejadiannya terjadi di tahun yang sama ketika Indonesia begini." Selain itu, karena tulisan-tulisannya dihasilkan di zaman perang, sebagian besar nuansa tulisannya terkesan sedih dan sendu.


KUTIPAN FAVORIT
"Saya pikir, dengan mempertahankan kecintaan masa kanak-kanak atas pepohonan, ikan, kupu-kupu, dan katak, yang saya jadikan contoh pertama dalam tulisan ini, kita dapat menciptakan masa depan yang damai dan terhormat menjadi lebih dari sekadar mimpi, dan dengan berkhotbah bahwa tidak ada yang pantas dikagumi kecuali baja dan beton, kita hanya memastikan bahwa manusia tidak akan mempunyai penyaluran untuk surplus energinya selain pemujaan pada pemimpin dan kebencian." (hlm. 179-180)


*

4 comments :

  1. Wah Kak Endah baca ini juga—kapan hari aku sempat baca dengan alasan yang sama persis kyk Kak Endah, pasca menyelesaikan Animal farm aku juga kepo dgn bukunya George yg lain. Tapi kumpulan esai blio belum cocok di aku, alhasil waktu baca tuh rasanya ngambang 🤣, agak bikin ngantuk dan belum selesai kubaca.

    Cuman yg paling aku inget itu esai “Pengakuan seorang pengulas buku”, membayangkan ada di posisi dia spt apa, dan mikir kalo kenyataannya jadi pengulas buku spt itu yg ada malah tertekan 🤭😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samaaa aku di beberapa bab juga ngantuk banget astagaaa berasa ikutan kelas politik. xD Iyaaa...ternyata pengulas buku tuh kayak gitu ya kerjanya (nggak semua, mungkin beberapa saja), pantesan kadang baca ulasan kayak di media berita online gitu kayak ngambang kesannya. Nggak kayak kalau baca dari blog pribadi orang. :p

      Delete
  2. Saya baca ini zaman 2017 apa 2018 ya. Lupa. Pokoknya sampulnya masih putih, dan kalau enggak salah penerbitnya (Oak) tutup. Sekarang udah ganti penerbit ternyata.

    Beberapa judul esai yang kamu sebut juga jadi favorit saya. Yang cerita menembak gajah kocak sekaligus sedih banget. Terus cerita yang kayak judul buku, bikin saya enggak mau mati menderita di rumah sakit. Mengerikan.

    Selain itu, kesukaan saya: Mengapa Saya Menulis. Saya suka penjelasan orang-orang yang menulis, khususnya ada unsur egoisme dan dorongan historis. Terasa relevan buat saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oooh gara-gara penerbitnya tutup akhirnya ganti penerbit. Wkwkwkwk iya lho cerita yang gajah itu tuh kocak dan sedih di saat yang bersamaan. Ngeri banget astagaaa yang rumah sakit itu, udahlah meragukan kehigienisannya, ditambah dengan pemeriksaan yang nggak ada tanya-tanya ke pasien. T___T Alasan-alasan orang yang menulis di cerita itu diceritakan deeper than I thought, nggak heran kalau mas Yoga merasa relevan.

      Delete

Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.

Back to Top