Holaaa...diriku hampir saja menyerah untuk tidak menulis apa-apa bulan ini di blog ini. Padahal bahan tulisan sebenarnya banyak tapi mau mulai nulis tuh kok rasanya nggak nemu inspirasi. Wkwk.
Kali ini di postingan ini saya akan membahas empat buku karya Agustinus Wibowo. Buku-buku ini direkomendasikan oleh the explorer in my blogger-friends circle, mas Rivai Hidayat.
Awalnya saya mengumpulkan empat buku tersebut di iPusnas tapi karena bukunya cukup tebal dan tulisannya kecil-kecil kalau dibaca di handphone jadinya saya mencoba alternatif lain, yaitu audiobook di Storytel. Buku Selimut Debu jadi yang pertama saya dengarkan. Baru beberapa menit saya sudah jatuh cinta dengan isi bukunya, hahahaha. Akhirnya beli lah buku fisik Selimut Debu beserta tiga karya Agustinus Wibowo lainnya (Garis Batas, Titik Nol, Jalan Panjang untuk Pulang). Keempat buku tersebut adalah terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Selimut Debu pertama kali diterbitkan pada Januari 2010. Buku yang saya punya adalah cetakan keenam Oktober 2020 dan memiliki ketebalan xiv + 461 halaman. Selimut Debu berisikan cerita eksplorasi Agustinus Wibowo di negeri perang Afghanistan. Dari buku ini saya mendapatkan fakta menarik bawah pernah ada patung Buddha tertinggi di dunia di Afghanistan. Kedua patung raksasa tersebut dihancurkan Taliban pada 21 Maret 2021.
Selain itu hal-hal menarik lain yang saya dapat dari Selimut Debu adalah sejarah munculnya Taliban, agama dan tradisi yang ada di masyarakat Afghanistan, etnik-etnik Afghanistan dan hubungan mereka satu sama lain, serta tentang bachabazi.
Kutipan favorit dari buku ini:
"Hidup itu selalu ada naik-turunnya, seperti pegunungan ini. Kita terkadang terengah-engah mendaki, terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada waktu untuk berbahagia," ujarnya. (Nassir, supir di pedalaman Ghor, Afghanistan; kaki kirinya hilang terkena ranjau) (hlm. 378)
Setelah selesai membaca Selimut Debu, lanjut ke Garis Batas. Garis Batas pertama kali diterbitkan pada April 2011. Buku yang saya punya adalah cetakan ketujuh Oktober 2020 dengan ketebalan xiv + 510 halaman.
Garis Batas berisi cerita petualangan Agustinus di negeri-negeri Asia Tengah, yaitu Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Petualangan tersebut dilatarbelakangi oleh fantasi penduduk Afghanistan tentang luar negeri yang hanya selebar sungai jauhnya. Mereka hampir setiap hari memandangi mobil-mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya duduk dalam mobil; memandangi rumah-rumah cantik bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang terbuat dari batu dan lempung; memandangi gadis-gadis bercelana jins tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian.
Jujur walaupun sama-sama di benua Asia, saya masih asing dengan negara-negara di Asia Tengah yang berakhiran "Stan" ini. Dengan membaca Garis Batas, saya jadi mendapat gambaran tentang sejarah negara-negara tersebut dari mulai zaman Uni Soviet sampai pada akhirnya merdeka sendiri-sendiri, perbedaan mereka satu sama lain, dan tentang enklaf.
Datang dengan bermodalkan paspor dari negeri antah berantah ke negeri-negeri misterius tentu saja tidak mudah bagi Agustinus Wibowo. Urusan imigrasi sering kali mendatangkan masalah baginya. Salah satunya ketika di Tajikistan. Tajikistan tidak berbeda jauh dengan Indonesia, bea cukai dan imigrasi adalah lahan basah dan buaya ganas yang harus dihadapinya. Tidak jarang Agustinus menghubungi KBRI di negara tersebut untuk meminta bantuan karena menurutnya, "Kekuasaan dilawan dengan kekuasaan. Birokrat dilawan dengan birokrat. Rakyat kecil hanya bisa bermain siasat." (hlm. 15)
Kutipan favorit dari buku Garis Batas:
Mimpi orang Afghanistan adalah Tajikistan, karena Tajikistan berlimpah listrik dan perempuan. Mimpi orang Tajikistan adalah Rusia, karena di sana banyak lapangan kerja dan uang. Mimpi orang Rusia adalah Amerika Serikat, karena di sana penuh gemerlap modernitas dan kebebasan.Lalu, apa mimpi orang Amerika? Mereka yang berada di puncak dari segala mimpi, ternyata masih punya mimpi yang lebih tinggi lagi--pergi ke luar angkasa.... Orang-orang kaya berlomba untuk jadi turis antariksa. Entah apa lagi yang perlu dicari manusia di sana. (hlm. 111-112)
Setelah selesai dengan Garis Batas, bacaan selanjutnya adalah Titik Nol. Titik Nol pertama kali diterbitkan pada Februari 2013. Buku yang saya punya adalah cetakan kesepuluh Februari 2021 dengan ketebalan xii + 556 halaman.
Dari keempat buku, Titik Nol adalah buku paling tebal, paling berat dari segi topik yang dibahas, dan paling lama saya selesaikan. Dua buku sebelumnya hanya memakan waktu kurang dari dua minggu, sedangkan Titik Nol hampir satu bulan. Cerita-cerita perjalanan Agustinus Wibowo ketika berada di Tibet, Nepal, India, Pakistan, dan Afghanistan diceritakan berselang-seling dengan kondisi ibunya yang menderita sakit parah.
Agustinus pandai dalam berkisah, perasaan yang dia rasakan mulai dari kesedihan yang mendalam sampai dengan ikhlas terasa tersampaikan dengan baik dalam rangkaian kalimat-kalimatnya. Jadi walaupun tidak mudah dalam menyelesaikan buku ini, pada akhirnya rating 5/5 tetap saya berikan untuk Titik Nol karena tidak bersifat depresif. Pantas saja buku ini dilabeli dengan titel National Bestseller.
Banyak sekali makna-makna kehidupan yang didapatkan oleh penulis dari perjalanannya yang dituliskan di buku ini, di antaranya tentang kebahagiaan dan berbagi ketika menjadi relawan di Pakistan (atau India?). Kutipan-kutipan menarik dari Titik Nol:
Ternyata, sungguh mudah untuk berbahagia. Berbahagia itu sederhana. Tak perlu menunggu jadi kaya raya atau mengenakan mahkota raja. Semua orang bisa berbahagia saat ini juga, kalau mau. (hlm. 318)Ketika kita membaktikan diri pada sesama, bisa berguna bagi orang lain walau sesedikit apa, sudah menghasilkan energi positif dalam diri. Semakin besar energi positif itu, semakin besar keinginan kita untuk berbagi. Semakin kita berbagi, semakin besar energi positif yang kita dapatkan. Begitu seterusnya, lingkaran kebahagiaan semakin menguat, karena rasa berbagi yang tak ada habisnya. (hlm. 347-348)Ini menyadarkanku bahwa hidup manusia itu begitu rapuhnya. Semua kebanggaan itu, kekuasaan dan kekayaan itu, semua identitas dan topeng-topeng itu, bisa direngut habis dari genggaman kita, manusia yang lemah di hadapan kuasa semesta, hanya dalam sekejap mata. (hlm. 348)
Selain itu, dari buku ini saya juga mendapatkan informasi menarik terkait kehidupan para hippie dan bagaimana sejarah mereka ada.
Setelah selesai membaca Titik Nol, perjalanan membaca akan berakhir di buku Jalan Panjang untuk Pulang. Buku ini diterbitkan pertama kali pada Desember 2020. Buku yang saya punya adalah cetakan kelima Juni 2022 dengan ketebalan vi + 461 halaman.
Jalan Panjang untuk Pulang berisi kumpulan cerita dan esai dari berbagai lokasi yang pernah disinggahi Agustinus, seperti China, Mongolia, Afghanistan, Pakistan, India, Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Belanda, Suriname, dan Inggris. Tempat-tempat yang dikunjunginya bukanlah tempat-tempat yang nyaman, tenang, atau bahkan indah dalam kacamata tamasya. Tempat-tempat itu sering kali berada di perbatasan, di wilayah penuh konflik berlapis dengan masyarakat yang berupaya mencari atau mempertahankan identitas.
Topik kumpulan tulisan Agustinus Wibowo di buku ini masih seputar tentang perjalanan dan kepulangan. Dari perjalanan fisik hingga perjalanan batin. Dari melihat dunia luar hingga pulang ke dalam diri, merenungi identitas diri. Identitas menurut Agustinus Wibowo dijabarkan dalam paragraf berikut:
Identitas adalah sesuatu yang kau rasa di dalam hatimu. Bukan orang lain yang menentukan. Identitas adalah sesuatu yang sangat personal, terus berganti dan bergeser. Kau bukan cuma punya satu identitas, melainkan banyak identitas sekaligus. Setiap orang perlu menyadari makna identitas yang dinamis ini. Karena para penguasa tahu betul bagaimana cara memainkan identitas sebagai senjata. (hlm. 255)
Selain bicara tentang identitas, Agustinus juga membahas tentang nasionalisme seperti dalam paragraf berikut:
Nasionalisme pertama-tama adalah tentang perasaan, dan sama sekali bukan urusan darah. Pada akhirnya, kita harus senantiasa mengingat bahwa bangsa adalah khazanah keberagaman yang terlahir dari gagasan dan angan. Sebuah bangsa akan bertahan lebih lama, dan bisa berjaya, apabila elemen-elemen dalam bangsa itu lebih menonjolkan persatuan nilai dan cita-cita besar di antara mereka. Sebuah bangsa akan kokoh berdiri jika dia mewujudkan komitmennya untuk memperlakukan semua elemen bangsa secara setara dan adil. (hlm. 228)
Cerita yang paling saya favoritkan adalah ketika Agustinus bertemu dengan Mbah Sarijo Moeljoredjo, seorang imigran Jawa terakhir di Suriname. Mbah Sarijo memberikan beberapa petuah hidup untuk anak muda, yaitu:
"Manusia diciptakan Gusti itu buat apa? Bukan cuma buat sembahyang, tapi buat meluaskan dunia.""Hidup itu jangan slowslow (malas-malasan), nanti darahmu dingin. Kalau darah dingin, kental, nanti penyakit mudah masuk, cepat mati.""Jangan ambil keuntungan dari orang lain. Itu dosa, kualat. Kalau dosamu banyak, badanmu lama-lama tidak akan kuat bawa, nanti kau cepat mati."Surganya bukan tentang kehidupan sesudah mati, tetapi tentang kehidupan nyata hari ini."Aku sekarang ini sudah di surga. Aku mau makan apa, bisa makan. Aku mau main, bisa main. Aku sudah tidak punya kekhawatiran apa-apa. Ini yang namanya surga. Kamu mengerti?" (hlm. 263)
Hal-hal menarik lain dari buku Jalan Panjang untuk Pulang adalah tentang kehidupan orang Yahudi di Uzbekistan. Pengetahuan saya tentang bangsa dan agama Yahudi sangat minim, jadi buku ini sangat membantu. Selain itu juga tentang ideologi komunis. Ideologi komunis mengagungkan nalar dan menentang kepercayaan terhadap takhayul (hlm. 14). Di akhir bukunya Agustinus juga menceritakan tentang sejarah penistaan agama.
OVERALL...
Buku-buku Agustinus Wibowo dituturkan dengan gaya story telling yang indah dan bagus. Jadi walaupun yang dibahas adalah tentang sejarah, tulisannya tidak membuat bosan. Selain tentang sejarah suatu bangsa atau negara, Agustinus juga bercerita tentang sejarah dirinya. Hidup sebagai kaum minoritas di Indonesia pada masa Orde Baru membuatnya banyak merenungi tentang makna identitas dan nasionalisme.
Topik tentang agama juga banyak dia singgung di dalam keempat bukunya ini. Yang saya suka dari tulisan Agustinus Wibowo tentang topik tersebut adalah keobjektifannya. Setiap agama dilihat berdasarkan fakta yang ada, tidak berat sebelah.
Buku-buku karya Agustinus Wibowo saya baca berurutan sesuai dengan periode pertama kali diterbitkan. Hasilnya bisa saya simpulkan bahwa jika ada yang berminat untuk membaca tulisan-tulisannya tetapi tidak punya cukup waktu, Jalan Panjang untuk Pulang bisa jadi pilihan. Hal ini karena menurut saya buku Jalan Panjang untuk Pulang berisi ringkasan perjalanan di Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Bonus memperoleh cerita-cerita dari negara yang tidak disinggahi di ketiga buku pendahulunya. Baru setelah itu, ketika tertarik ingin mengetahui detail-detailnya seeperti apa maka bisa ke tiga buku lainnya.
*
Jadi gimana perasaanmu ketika atau pasca baca buku-buku ini? :D
ReplyDeleteaku setuju kalau buku titik nol lebih berat dibandingkan dua buku sebelumnya. Selain tentang perjalanan dan perjumpaannya, dia juga bercerita tentang rasa kehilangannya atas kematian ibunya.
Aku juga suka dengan cerita mbak sarijo. Ceritanya begitu personal dengan apa yang terjadi dengan mbah sarijo dan apa yang dirasakan orang-orang dulu. Termasuk tidak boleh mencari keuntungan dari orang lain.
satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari semua buku agustinus adalah tentang identitas. Dia selalu bercerita tentang identitas orang yang dia temui dalam pertualangannya. Tidak hanya itu, termasuk identitas kelompok/suku atau sebuah negara yang dia datangi. Aku kepikiran kalau identitas ini bakal dibawa terus. Bahkan ketika seseorang itu telah meninggal.
Ringkasan yang bagus Endah :D
Setelah baca keempat bukunya aku jadi langsung mempertanyakan kembali tujuan travelingku itu apa. 🤣
DeleteHaduh sumpah aku sampe nangis mas Vay baca Titik Nol. ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ Tentang mbah Sarijo, petuah-petuah hidupnya itu sederhana tapi ngena. Aku suka kalau membaca pengalaman orang-orang sepuh begini, banyak pelajaran hidup yang bisa diteladani.
Betuul betul, Agustinus itu dalam buku-bukunya nggak menceritakan tentang pencapaian dia sendiri. Yang dia ceritakan itu hal-hal lain yang dia amati. Jadi betah bacanya.
Thank you mas Vay, makasih juga atas rekomendasi buku-bukunya. ✊