Judul: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982
Penulis: Cho Nam-Joo
Alih bahasa: Iingliana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: II, Desember 2019
Jumlah halaman: 192 hlm.
ISBN: 9786020636191
Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.
Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.
Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.
Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.
Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.
Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia
Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis dan penindasan institusional yang relevan bagi kita semua.
Review:
Cerita dalam buku ini terbagi menjadi enam bagian. Bagian pertama berupa kejadian di tahun 2015 di mana suami Kim Jiyeong yang bernama Jung Daehyeon merasakan sesuatu yang berbeda dari tingkah laku istrinya yang kemudian membawanya untuk menemui psikiater. Dari sinilah semua cerita dimulai.
Bagian kedua, ketiga, keempat, dan kelima berisi kilas balik kehidupan Kim Jiyeong dari mulai dia lahir, menjalani masa kecil, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, kuliah, bekerja, dan kehidupan awal pernikahan dengan Jung Daehyeon. Sedangkan bagian keenam (terakhir) ditulis berdasarkan sudut pandang psikiater Kim Jiyeong terhadap keadaan yang sedang dialami wanita tersebut.
Sebagai sebuah novel terjemahan, bahasa yang digunakan di dalam buku ini sangat mudah dimengerti. Beberapa istilah tetap dituliskan dalam bahasa Korea namun diberi penjelasan yang diletakkan di catatan kaki. Sumber-sumber rujukan untuk mendukung data yang dituliskan di dalam cerita juga dicantumkan di catatan kaki.
Sudut pandang yang dipakai untuk menceritakan keadaan Kim Jiyeong menggunakan sudut pandang orang ketiga. Novel ini ditulis dengan gaya penuturan narasi sehingga minim dialog. Walaupun begitu, pesan yang disampaikan tersampaikan dengan baik karena tema yang diangkat sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari yaitu patriarki.
Menurut KKBI yang dimaksud dengan patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sebagai penduduk negara Indonesia tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ini (barangkali juga kita sudah akrab dengan perlakuan patriarki entah itu dalam keluarga atau di tengah masyarakat). Korea Selatan tidak berbeda jauh dengan Indonesia dalam hal patriarki dilihat dari cerita Kim Jiyeong.
Sejak sebelum dia lahir, ibunya telah mengalami perlakuan patriarki dari keluarganya sendiri terlebih dahulu. Ibu Kim Jiyeong terpaksa bekerja di usia yang seharusnya digunakan untuk menempuh pendidikan dasar. Uang yang didapat dari pekerjaan itu digunakan untuk membiayai kakak-kakak laki-lakinya bersekolah sampai mendapatkan gelar dan pekerjaan terpandang. Ibu Kim Jiyeong berakhir menjadi ibu rumah tangga yang tinggal serumah bersama ibu mertuanya (please note that I'm not saying being a stay at home mom is bad).
Ibu mertuanya ini masih menganut sistem patriarki warisan generasi sebelumnya. Beliau sangat mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu-cucu perempuannya. Salah satu cucu perempuannya adalah Kim Jiyeong. Jadi Kim Jiyeong ini sudah akrab dengan patriarki sejak masih usia dini.
Peristiwa demi peristiwa berbau patriarki terus dialami Kim Jiyeong selama masa sekolah. Di sekolah dasar, siswa laki-laki yang mengganggu siswi perempuan dianggap hal yang wajar...bahkan oleh guru yang mengajar Kim Jiyeong. Siswa laki-laki yang usil mendapat permakluman dengan salah satu alasan bahwa siswa tersebut jahil karena menyukai teman perempuannya jadi sebaiknya santai saja jangan marah. Sampai di sini sudah ingin marah belum? :)
Cerita ini langsung mengingatkan saya pada sebuah kejadian traumatis saat duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Ada satu orang teman sekelas berjenis kelamin laki-laki yang setiap hari mendekat dan mengganggu saya dengan kata-kata "Cium, cium" sambil memonyongkan bibir ke arah saya. Can you imagine that? Seorang anak yang baru berusia tujuh-delapan tahun bisa berkelakuan seperti itu.
Tentu saja pada saat itu saya belum tahu jika perlakuan tersebut termasuk dalam pelecehan verbal. Saya juga belum mengerti jika perbuatan yang dilakukan oleh anak tersebut harus dirunut ke bagaimana dia dididik dalam keluarga dan pergaulan lingkungannya. Yang saya tahu hanya sebatas rasa terganggu, tidak nyaman, dan setiap akan berangkat sekolah selalu menangis tersedu-sedu karena takut berhadapan dengan anak itu.
Saya ingat betul betapa susahnya mengatakan hal itu kepada ibu saya yang juga bingung sampai marah kenapa saya menangis seperti itu setiap akan berangkat sekolah. Saya saat itu juga tidak mengadu kepada guru karena tidak sampai berpikir untuk melakukan itu. Untung saja seiring dengan naiknya kelas, anak laki-laki itu berhenti mengganggu. Rasanya lega bukan kepalang, tapi kalau diingat-ingat ya tetap saja trauma.
So parents, educate your children about sex education as early as possible. Ajarkan untuk saling menghormati kepada sesama teman terlepas apa pun jenis kelaminnya (karena pelecehan bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan). Hati-hati jika buah hati para bunda dan ayah sekalian, menangis tersedu-sedu jika akan berangkat ke sekolah. Dekati dengan hati dan tanyakan sampai dia bercerita sebabnya.
Kembali lagi ke kisah Kim Jiyeong, pada saat dia duduk di bangku sekolah menengah, tantangan menjadi lebih berat. Suatu hari teman-teman sekelasnya yang perempuan berhasil menangkap seorang penjahat kelamin yang berkeliaran di sekitar sekolah. Pelaku ini meresahkan siswa-siswa perempuan. Namun pihak sekolah menyalahkan anak-anak perempuan tersebut karena membuat malu sekolah. Gila bukan? Logikanya terbalik. :)
Ada lagi satu kejadian yang dialami secara pribadi oleh Kim Jiyeong, yaitu ketika dia pulang les ketika hari sudah malam. Dia diikuti oleh seorang siswa laki-laki sejak dari halte dekat tempat lesnya. Kim Jiyeong sampai ketakutan hingga meminta bantuan kepada seorang ibu-ibu di dalam bus. Dia meminjam telepon genggam milik ibu-ibu itu untuk mengirim pesan kepada ayahnya supaya menjemputnya. Saat turun di halte tujuan, Kim Jiyeong terus diikuti oleh siswa laki-laki itu. Kim Jiyeong semakin ketakutan tetapi ibu-ibu di dalam bus tadi membantunya. Kim Jiyeong tidak sampai diapa-apakan oleh siswa laki-laki tersebut. Ketika ayahnya bertemu dengannya, Kim Jiyeong malah disalahkan karena pakaiannya. Familiar dengan perlakuan ini? :)
Mari kilas balik ketika kita seusia Kim Jiyeong, entah itu sebagai pelajar SMP maupun SMA. Pernah tidak mengalami kejadian seperti Kim Jiyeong? Atau kejadian pelecehan lainnya seperti dipegang pada bagian tubuh yang tidak boleh dipegang sembarang orang terlebih oleh laki-laki? Pasti pernah.
Dan apa yang kita lakukan pada waktu itu? Kalau saya dan beberapa teman yang pernah saling bercerita sih reaksinya hanya diam karena shock tidak tahu harus bagaimana atau kalau tidak begitu ya menangis atau lari menjauhi pelaku. Tanpa ada perlawanan. Entahlah pada masa itu rasanya malu sekali kalau harus menceritakan kepada orang lain bahwa kami mengalami pelecehan seksual. Alhamdullillah zaman sekarang sudah berubah dan para korban pelecehan seksual sudah mendapat dukungan untuk speak up dan melawan pelakunya.
Kembali lagi ke kisah Kim Jiyeong (2), ketika dia masuk ke dunia kerja, patriarki masih terjadi di sekelilingnya. Contoh yang paling sederhana adalah adanya "pilih kasih" promosi karyawan. Karyawan perempuan memiliki kesempatan lebih rendah untuk dipromosikan daripada karyawan laki-laki, walaupun Kim Jiyeong bekerja dengan lebih baik. Ada banyak alasan yang dituliskan di dalam buku 'Kim Jiyeong, Lahir Tahun 1982' tentang hal ini dengan disertai data-data. Contoh lain adalah pelecehan verbal yang sering dilontarkan oleh rekan laki-laki di kantor...apalagi kalau rekan kerja perempuannya berusia lebih muda. Misogynists are every where.
Banyak sekali kasus patriarki yang diceritakan di dalam hidup Kim Jiyeong, entah itu di dalam rumah tangganya atau di lingkungan masyarakat dalam memandang sosok seorang ibu-ibu. Kim Jiyeong bukanlah seseorang yang berani dengan lantang melawan patriarki, dia lebih banyak diam walaupun tidak setuju karena menganggap hal tersebut lumrah sebab sudah ia dapatkan sedari kecil. Beberapa temannya lah yang pada saat-saat tertentu menyuarakan pendapatnya. Kim Jiyeong seperti sebagian perempuan di sekitar kita (atau bahkan kita sendiri?), dan teman-temannya seperti teman-teman perempuan kita sendiri yang keberadaannya ada di sekeliling kita. It's like...as women in a patriarch society, we are not alone. We can fight it together for a better society.
Happy International Women's Day! Telat sih tapi tidak apa-apa yang penting masih bulan Maret, hehe. Semangat dan tetap jaga kesehatan!
*
No comments :
Post a Comment
Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.