August 17, 2021

SEJARAH REMPAH: Dari Erotisme sampai Imperialisme


Identitas Buku
Judul buku: Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme
Penulis: Jack Turner
Penerjemah: Julia Absari
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Kedua, Agustus 2019
Jumlah halaman: xxxii + 416 hlm.
ISBN: 978-623-7357-01-8


Blurp
Rempah-rempah memiliki sejarah panjang dan fantastis. Jack Turner mencoba menuliskan rekam jejaknya dan melalui gaya narasi sastra yang jenaka, ia berhasil menyajikan suatu kisah yang luas dan sangat informatif. Turner mengangkat rentetan kesalahpahaman ikhwal rempah-rempah yang terjadi di masa lalu dan menceritakan berbagai peristiwa secara detail serta kronologis yang terkait dengan pencarian dan penggunaannya.

Rempah-rempah memberi pengaruh terhadap tokoh-tokoh penting sehingga dalam sejarah mereka akhirnya dikenal sebagai pengubah sejarah dunia, mulai Yesus Kristus, Ibnu Sina sampai gadis-gadis grup pop Spice Girls. Dari Firaun Ramses hingga Marco Polo, Christopher Columbus, dan Vasco da Gama. Ketika dunia terancam penyakit--seperti epidemi pes di Eropa pada abad ke-16--rempah-rempah oleh dunia pengobatan dianggap mujarab sebagai penangkal. Lebih menarik lagi ketika Turner juga memaparkan kaitan rempah-rempah dan sejarah erotisme. Terkuaklah bagaimana kisah penggunaan rempah-rempah dalam praktik sexual magic yang bertujuan meningkatkan gairah, keperkasaan, menggaet perempuan, dan lain-lain. Praktik yang dimulai di Jazirah Arab di antara para syeikh itu kemudian dicontoh secara besar-besaran di benua Eropa.

Mungkin terasa berlebihan jika membaca bahwa pada masa lalu rempah-rempah disebut sebagai "buah dari surga" atau "punya kekuatan sihir", tetapi percayalah, betapa nyata rempah-rempah mengubah peta sejarah dunia.


Review
Buku 'Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme' adalah buku pertama Jack Turner. Dia lahir di Sydney, Australia pada tahun 1968 dan menerima gelar M.B.A dari Kajian Klasik di Universitas Melbourne serta Ph.D dari Hubungan Internasional di Oxford. Jack Turner tinggal bersama Helena (istrinya) dan anak-anak mereka di Jenewa, Swiss.

Jack Turner menghabiskan masa-masa sekolahnya di Australia. Sebagai murid di negara koloni suatu negara Eropa, dia mendapat pelajaran sejarah tentang benua biru tersebut. Salah satunya tentang rempah-rempah. Seiring dengan perkembangan pengetahuannya, Jack Turner menyadari bahwa alasan bangsa-bangsa Eropa terdahulu menyukai rempah-rempah tidaklah sebatas bumbu penyedap di makanan mereka yang hambar. Rempah-rempah lebih dari itu, dan melalui buku ini Jack Turner memaparkannya.

Buku 'Sejarah Rempah' dibagi menjadi empat bagian, yaitu Perburuan Rempah, Selera, Raga, dan Jiwa. Bagian-bagian tersebut berisi bab-bab dan sub-sub bab yang masing-masing menjelaskan pencarian rempah di Zaman Penjelajahan, penggunaan rempah dalam makanan di Abad Pertengahan dan sebelumnya (zaman Yunani dan Romawi), rempah sebagai komoditas "panas" dan penggunaannya di masa wabah pes melanda Eropa, serta hubungan rempah-rempah dengan ritual kepercayaan. Selain itu ada bab epilog yang menjelaskan akhir dari zaman keemasan rempah-rempah. Setelahnya ada glosarium, daftar referensi, dan indeks yang memudahkan pembaca mencari arti istilah, sumber rujukan, atau kata-kata kunci.

Well...buku ini diawali dengan pencarian rempah di Zaman Penjelajahan, yaitu periode sejarah mulai dari abad ke-15 sampai abad ke-17 saat para penjelajah Eropa berlayar ke Timur untuk menemukan sumber komoditas dagang. Reputasi rempah-rempah sebagai pembawa keuntungan (profit) di masa itu begitu besar, sampai menurut beberapa pihak hal tersebut mencoreng tradisi dan keagungan rempah-rempah. Seorang penjelajah terkenal pada masa itu, yaitu Christopher Columbus (1451-1506), sangat menghindari tudingan keserakahan tersebut dan selalu menggunakan alasan spiritual sebagai pembenaran perjalanannya.

Di Zaman Penjelajahan inilah akhirnya terbuka tabir kemisteriusan tempat asal rempah-rempah bagi bangsa Eropa. Sebelumnya, di Abad Pertengahan (periode dalam sejarah Eropa mulai dari tahun 1000 sampai 1450), rempah-rempah digambarkan secara fantastis oleh orang-orang pada masa itu. Kurangnya pengetahuan tidak meredam imajinasi mereka. Cerita yang akurat kadang justru dianggap omong kosong. Marco Polo (1254-1324), seorang pedagang dan penjelajah asal Italia yang berhasil menjelajah Asia dan memperkenalkannya ke Eropa untuk pertama kali, pernah dengan jujur menceritakan tentang pulau-pulau yang komoditas umumnya adalah rempah-rempah, tumbuh di pohon biasa, dipanen oleh orang-orang biasa dan dalam kuantitas besar. Cerita Marco Polo tersebut tidak dapat diterima oleh kebanyakan bangsa Eropa pada Abad Pertengahan.

Jauh sebelum menjadi komoditas yang dibawa para penjelajah ke pasar yang dipenuhi oleh investor dan kaum kapitalis sehingga kemisteriusannya pudar, rempah-rempah telah banyak digunakan oleh bangsa Romawi. Armada Romawi berlayar ke India saat angin monsun untuk mendapatkan rempah-rempah. Orang-orang Romawi, kaum bangsawannya lebih tepatnya, menggunakan rempah-rempah secara berlebihan sebagai ajang pamer status sosial sampai kas negara terkuras. Dalam pandangan ini, bukan orang barbar yang mengakibatkan kehancuran Roma. Kehancuran Roma mengakibatkan lenyapnya jejak asal-usul komoditas tersebut, masuk ke dalam dunia fantasi Abad Pertengahan dan menjadi tidak dikenal. Rahasia rute perdagangannya tidak terungkap oleh cendekiawan Eropa selama berabad-abad.

Di Abad Pertengahan peran rempah-rempah adalah untuk menyamarkan rasa yang bertentangan (pembusukan daging) dan menghasilkan cita rasa yang lebih sedap pada makanan yang pilihannya terbatas. Faktor agama menjadi tambahan batasan dalam hal ini selain iklim dan kelas sosial.

Rempah-rempah pada Abad Pertengahan juga berperan dalam mengurangi ketajaman rasa anggur muda dan meredam efek negatif dari penyimpanan di barel. Rempah-rempah menjadi sahabat terbaik bagi para peminum anggur. Namun, dengan ditemukannya teknologi baru berupa botol beserta penutupnya di abad ke-16, kebutuhan rempah-rempah dalam anggur menjadi jauh berkurang.

Rempah-rempah di Abad Pertengahan ini sebenarnya lebih dari sekadar dua perannya pada makanan dan anggur. Sebagian besar pesona rempah-rempah ada pada sisi misterius dan keglamorannya. Ini adalah akibat dari imajinasi orang-orang Abad Pertengahan tentang komoditas tersebut. Rempah-rempah diartikan sebagai kebangsawanan. Hanya golongan yang berada saja yang mampu menikmatinya. Mereka mendapatkan kepuasan dengan menghambur-hamburkan komoditas yang mampu mereka beli tersebut. Sementara bagi orang miskin, daya tarik rempah-rempah sebagian besar lebih karena rasa ingin tahu secara akademis.

Dari sisi spiritual, penggunaan rempah-rempah sudah ada sejak zaman Mesir kuno. Bangsa Mesir kuno membalsem mumi-mumi raja mereka dengan bahan yang salah satunya terdiri dari rempah-rempah. Bangsa Romawi pun kemudian mewarisi tradisi itu, sama halnya dengan para penakluk mereka dari Germania yang kemudian mewarisinya dari mereka.

Perbedaannya, bangsa Mesir kuno melakukan pembalseman dengan rempah-rempah degan tujuan untuk pengawetan jasad agar tetap terlihat hidup. Sedangkan bangsa-bangsa pewaris tradisi setelahnya, alasan utamanya kemungkinan lebih berkaitan dengan aroma kesucian. Komoditas ini menjadi sarana terakhir untuk menunjukkan bahwa mereka berada dalam kelas sosial yang lebih istimewa, seolah-olah kematian tidak cukup menunjukkan bahwa mereka pada akhirnya akan berujung sama dengan orang lain yang derajatnya dipandang lebih rendah.

Dari sisi dunia medis, rempah-rempah tak kalah populer. Reputasi rempah bertahan lama berkat teori yang telah dibangun jauh sebelumnya di zaman Yunani dan Roma. Premis dasarnya adalah teori humoral yang menyatakan bahwa semua benda, hidup maupun tidak, dipadukan dari empat jenis elemen: panas, dingin, kering, dan basah. Tubuh yang sehat diyakini memiliki keempat elemen tersebut yang berada dalam keadaan seimbang. Oleh karena penyakit merupakan bentuk ketidakseimbangan, maka obat ditujukan untuk menyeimbangkan kembali (dalam hal ini obat tersebut sebagian besar adalah rempah-rempah).

Kemudahan akses terhadap rempah-rempah dalam hal medis sama halnya dengan makanan atau spiritual yang tadi sudah dijelaskan, yaitu hanya bisa dimiliki orang kaya. Orang miskin menggunakan bawang putih dalam pengobatan penyakit. Ironisnya, dalam aspek kemanjuran medis, rakyat miskin tidak bernasib lebih buruk daripada kaum berada. Bila dilihat secara jangka panjang, sejarah obat (rempah-rempah tergolong di dalamnya) pada dasarnya lebih berorientasi kepada keyakinan daripada bukti empiris.

Rempah-rempah pernah salah kaprah digunakan dalam menangani wabah pes di Eropa pada masa lalu. Orang-orang pada masa itu belum mengetahui bahwa akar masalahnya ada pada vektor wabah berupa tikus, kutu, dan jasad renik. Mereka menggunakan rempah-rempah sebagai pertahanan aromatik. Kegunaan rempah-rempah dalam hal ini bukanlah sebagai pencegah wabah, melainkan hanya untuk membasmi kuman dalam makanan, atau sebagai nutrisi tambahan bagi mereka yang kekurangan makanan.

Dari sisi erotisme, rempah-rempah dan dunia "panas" tidak dapat dipisahkan, baik di zaman kuno maupun Abad Pertengahan. Hal ini membuat keberadaan rempah makin diterima di meja-meja makan selama ribuan tahun. "Rempah-rempah itu seksi" adalah fakta pada masa lalu yang tidak dapat disangkal oleh ilmuwan Abad Pertengahan yang para pendukungnya meliputi para pelopor tradisi rasional di bidang ilmiah dan medis: Aristoteles, Hippokrates, Galen, dan Avisena.

Prinsip teori humoral juga berlaku di aspek seksual (selain di dunia medis tadi). Secara umum, hilangnya naluri atau kapasitas erotis dianggap sebagai gejala pilek berat. Rempah-rempah panas merupakan obat penghangat yang sempurna (dan secara logis juga merupakan perangsang). Teori humoral yang ada pada masa itu dijelaskan sepert ini: temperamen yang hangat dan basah menandakan banyaknya sperma dan tingkat berahi yang sehat; sedangkan yang hangat dan kering berarti kurang sperma, tetapi lebih "menggelora" serta memiliki berahi tinggi.

Jahe diklasifikasikan ke tipe panas-basah yang langka sehingga komoditas ini paling dicari. Alternatifnya adalah cengkih yang diklasifikasikan setengah kering. Sedangkan lada digolongkan ke tipe sangat panas dan kering, sehingga dianggap sangat efektif untuk memicu performa erotis tetapi juga berisiko "menguras" sperma.

Masyarakat Eropa Abad Pertengahan memperoleh pengetahuan tentang rempah-rempah dan resepnya dari dunia Islam Timur Dekat dan Spanyol. Seperti semua ajaran agama, otoritas Islam cenderung bersopan santun, tetapi iklim masyarakat mereka lebih akomodatif bagi pembelajaran dan diskusi topik ini secara lebih terbuka. Sebagian besar karya-karya Islam cenderung menjanjikan hasil yang lebih fungsional dan berorientasi pada kesuburan alih-alih hanya kenikmatan belaka.

Zaman keemasan rempah-rempah mendekati akhir ketika pengembangbiakannya dibawa ke luar dari tempat asalnya oleh para penjelajah dari Zaman Penjelajahan. Eksotisme, kelangkaan, dan kemisteriusannya pelan-pelan memudar. Rempah-rempah menjadi terjangkau oleh lebih banyak kalangan karena biaya belinya menurun. Rempah-rempah tidak lagi memiliki daya tarik secara medis, sosial, bahkan spiritual.

Dengan kemajuan metode empiris dalam dunia medis, keabsahan teori humoral mengalami masa-masa genting. Seiring dengan menghilangnya konsep udara buruk (yang dulu diyakini menjadi penyebab wabah pes) dan teori humoral, rempah-rempah pun perlahan hilang dari peredaran. Selain itu juga karena pergeseran sarana untuk menonjolkan selera konsumtif, dari meja makan ke perhiasan, musik, pakaian, rumah, seni, dan kereta kuda.

πŸ§„πŸŒΆπŸ₯œ

Kesan sewaktu membaca buku ini, sesuai dengan deskripsi yang ada di blurp, narasi jenakanya ada, yaitu di awal-awal bab dan bagian tentang sisi sensual rempah-rempah. Bagian lain tentang pemujaan dan spiritual menurut saya cenderung serius. Gambar-gambar pendukung di dalam buku hampir semuanya tidak secara eksplisit disebutkan untuk mendukung narasi yang sedang diceritakan.

Daya tarik buku ini bagi saya ada di sampulnya. Ini bukan berarti saya suka gambar wanita-wanita setengah telanjang ya, tapi secara keseluruhan, ilustrasi sampulnya terkesan sangat klasik dan ada unsur-unsur spiritual yang ditampilkan. Sesuai dengan isi bukunya.


*

8 comments :

  1. Menarik, jujur selama kenal sama temen2 blogger aku baru nemuin kawan yang suka dengan buku2 nonfiksi dengan topik cukup berat kayak Kak Endah gini πŸ˜ƒ...kalo boleh tau Kak Endah kenapa tertarik baca buku ini?? Selain karena cover bukunya? Atau emang suka karena covernya aja? Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejarah terus ya yang dibahasπŸ˜† Alasan selain covernya bagus tbh nggak adaπŸ˜‚πŸ˜­ Beli karena covernya bagus dan alhamdulillah isinya ternyata menarikπŸ₯³

      Delete
  2. baca soal rempah rempah jadi keinget pelajaran waktu sekolah dulu
    dimana penjajah betah banget stay di Indo, karena Indo sendiri penghasil rempah rempah yang melimpah banget
    dulu aku ga ngerti wujud rempah rempah kayak gimana. Orang jawa bilang, bumbu juga kadang disebut rempah rempah

    baca buku ini jadi flashback lagi ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata alasannya macem-macem ya mba Ainun, nggak cuma buat bumbu masakan yang hambar. Yup, baca-baca buku sejarah setelah udah nggak sekolah dan kuliah lagi ternyata menyenangkan. xD

      Delete
  3. Mba Endah bacaan Non Fiksinya keren banget ya 😊. Pendapatku sama kaya Mba Reka kalau Mba Endah adalah salah satu teman blog yang paling berani buat baca buku2 non fiksi berbau hal2 sejarah dan perintilannya. Haha. 😁 udah gitu berbaik hati lagi buat nulis sedikit banyak tentang isinya. Jadi kita2 yang kurang cocok sama buku beginian. Bisa dapat insight juga. Makasih ya..

    Dan aku baru tahu kalau Rempah (dulu) ternyata dipakai untuk segala macam sampai yang berbau panas2. Keren banget ya mereka. No wonder Indonesia jadi salah satu negara yang paling banyak di jajah dulu πŸ€”

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha nulis begini biar inget juga yang pernah dibaca itu apa mas Bay, soalnya kalau mau baca lagi buku ini ya mikir-mikir lagi. xD Berat. xD

      Betul, dulu pas masih SD kan alasannya selalu tentang makanan orang Eropa yang hambar. Ternyata lebih dari itu. Tinggal baca tentang tulisan yang mengulik kepulauan rempah-rempah di Indonesia aja ini.

      Sama-sama mas Bay, makasih udah baca.

      Delete
  4. Wua menariik yaa 😍😍 Mba endah nemu aja buku menarik kayak gini. Hehehe.. Sebenernya aku bukan tipe yg tertarik baca tntng sejarah rempah2, tp krna dibalut dg bahasa jenaka, kayanya asik jg yaa.. 😍
    sama kaya mba endah, aku jg suka sama covernya 😁
    Btw, klo suka buku2 sejarah, pernah baca buku Sergius Sutanto ga mba? Aku baca baca bukunya ternyata asik bgd..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe hikmah karantina 2020 ini, belinya tahun lalu, bacanya baru selesai tahun ini. xD Iya asik mba Thessa, yang agak berat tuh yang bagian spiritual. Kayaknya karena aku juga orang di luar agama yang dibahas sih, jadinya kayak nggak punya bayangan gitu.

      Covernya rame dan gambarnya klasik banget ya kan. xD Langsung jatuh cinta pas lihat covernya. xD

      Belum tuh mba, buku-buku sejarah yang aku baca kebanyakan penulis luar negeri.

      Delete

Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.

Back to Top