June 7, 2020

Review Buku 'The Geography of Bliss'


Identitas Buku
Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita
Jml. halaman: 572 hlm.
ISBN: 978-602-402-150-4
Cetakan: I, Juli 2019 (Edisi Keempat)


Blurp
"Tulisan yang menyentuh ... mendalam ... buku yang hebat!" -National Geographic

"Selalu ada pencerahan di setiap halaman buku ini." -Los Angeles Time

The Geography of Bliss membawa pembaca melanglang-buana ke berbagai negara, dari Belanda, Swiss, Bhutan, hingga Qatar, Islandia, India, dan Amerika ... untuk mencari kebahagiaan.

Apakah orang-orang di Swiss lebih bahagia karena negara mereka paling demokratis di dunia? Apakah penduduk Qatar, yang bergelimang dolar dari minyak mereka, menemukan kebahagiaan di tengah semua kekayaan itu? Apakah Raja Bhutan seorang pengkhayal karena berinisiatif memakai indikator kebahagiaan rakyat yang disebut Gross National Happiness sebagai prioritas nasional? Mengapa penduduk Ashville, Carolina Utara, sangat bahagia? Mengapa penduduk di Islandia, yang suhunya sangat dingin dan jauh dari mana-mana, termasuk negara yang warganya paling bahagia di dunia? Mengapa di India kebahagiaan dan kesengsaraan bisa hidup berdampingan?

Dengan gaya yang khas dan kocak, serta detail yang menarik, Eric Weiner membawa pembaca ke tempat-tempat yang unik, bertemu dengan orang-orang yang beragam, dan menemukan bagaimana orang-orang di berbagai negara itu bisa bahagia dengan cara yang berbeda-beda.

"Bagus, enak dibaca, cerdas, dan jenaka." -Amazon.com


Review
Buku ini menuai banyak sekali pujian dari beberapa media massa terkenal. Enam halaman pertama 'The Geography of Bliss' berisikan pujian-pujian tersebut. Hal ini karena buku karya Eric Weiner ini telah menyabet gelar New York Times Best Seller.

Buku ini dirilis sebelum 'The Geography of Genius'. Eric Weiner melakukan perjalanan ke sepuluh negara di dunia untuk menemukan seperti apa itu kebahagiaan. Kesepuluh negara tersebut adalah Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Moldova, Thailand, Britania Raya, India, dan Amerika.

Tidak hanya mengamati perilaku dan menyelam lebih dalam di budaya negara-negara yang dikunjungi, Eric Weiner juga bertemu dengan pakar yang mengukur kebahagiaan secara kuantitatif. Ya, kebahagiaan disajikan menjadi skala-skala berbentuk angka. Selain itu, untuk memahami kebahagiaan lebih jauh, penulis buku ini juga mengunjungi negara yang dinilai tidak membahagiakan menurut skala tersebut. 

Pengalaman berkunjung ke negara yang tidak bahagia itu, didasarkan pada Hukum Kebahagiaan Relatif. Eric Weiner menulis "tempat seperti itu akan memompa semangat saya karena saya akan menyadari ada kesedihan yang belum pernah saya rasakan", alih-alih "bersyukur di atas penderitaan orang lain". Saya paling tidak suka dengan orang yang bersyukur setelah melihat orang lain yang menurutnya tidak lebih baik darinya, seolah-olah harus mencari pembanding dulu untuk bisa jadi bahagia. Orang-orang seperti itu menurut saya akan susah bahagia, bukannya lebih baik berkompetisi dengan diri sendiri? Maksudnya membandingkan perkembangan diri saat sekarang dengan masa lalu. Kalau membandingkan dengan orang lain terus, ya tidak akan ada batasnya. Bisa-bisa seumur hidup tidak bisa bahagia dan menyalahkan dunia yang tidak adil, padahal masalahnya ada di diri sendiri. Saya bisa menulis begini karena dulu pernah jadi kategori "orang yang paling tidak saya sukai" itu.

Kutipan lain di buku 'The Geography of Bliss' yang saya favoritkan ada di halaman 170 ketika Eric Weiner berkunjung ke Bhutan. Kutipannya seperti ini "semua momen dalam kehidupan saya, setiap orang yang saya temui, semua perjalanan yang telah saya tempuh, setiap keberhasilan yang telah saya nikmati, setiap kesalahan yang telah saya buat, setiap kerugian yang saya tanggung adalah bukan masalah". "Bukan masalah", satu frasa yang punya makna dalam. Satu frasa yang membuat Eric Weiner mendeskripsikan hal-hal tersebut sebagai "oke", "oke" adalah awal dan dia berterima kasih untuk itu. Perjalanan di Bhutan ini menjadi salah satu yang saya favoritkan karena filosofi kalimat tersebut dan pengalaman yang dialami penulisnya di alam Bhutan yang jauh dari kata metropolitan.

Selain Bhutan, cerita dari Qatar juga menarik perhatian saya. Sebuah negara kecil yang kaya raya karena minyaknya, namun Eric Weiner berhasil menemukan seorang narasumber warga Qatar yang mengungkap sisi lain di balik gemerlap negaranya.

Selesai membaca buku ini saya lega luar biasa. Tidak seperti membaca 'The Geography of Genius', buku 'The Geography of Bliss' ini lebih menguji keistikomahan. Tidak ada kosakata yang sulit memang, narasinya pun enak dibaca. Tapi mungkin karena saya sudah gumoh dengan buku tebal lebih dari lima ratus halaman sebelumnya, jadi membaca buku ini agak sedikit bosan. Beruntungnya di akhir buku ada sebuah kesimpulan yang merangkum semua cerita perjalanan penulis, begini:
"Saya bukan seorang filsuf, maka inilah yang dapat saya katakan: Uang itu penting, tapi kurang penting dibandingkan yang kita kira dan bukan seperti yang kita kira. Keluarga itu penting. Demikian juga dengan sahabat. Rasa iri itu racun. Begitu juga berpikir yang berlebihan. Pantai itu bersifat pilihan. Tapi tidak dengan kepercayaan. Tidak pula dengan rasa syukur." (hal. 538)

Kalau kamu sedang mencari bacaan tentang kebahagiaan, buku 'The Geography of Bliss' dengan tagline "kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia mencari negara paling membahagiakan" ini bisa jadi pilihan. Eric Weiner, sang penulis, memang menyebut dirinya bukan filsuf tapi tulisannya filosofis dengan tidak mengkesampingkan sisi humorisnya, dan tentu saja ada dukungan daftar pustaka yang menunjukkan jika buku ini ditulis berdasarkan fakta riset ilmiah juga.

*

No comments :

Post a Comment

Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.

Back to Top