January 22, 2024

Kunci Jawaban Bernama Filosofi Teras

"Buku kecil ini bukanlah akhir, tetapi justru awal perjalanan."

Filosofi Teras ditulis oleh Henry Manampiring, diterbitkan pertama kali tahun 2018 oleh penerbit buku Kompas. Buku yang saya punya adalah cetakan ke-49 tahun 2023 dengan tebal buku 326 halaman. Ilustrasi yang ada di dalamnya digambar oleh Levina Lesmana.

Filosofi Teras atau Stoisisme adalah aliran Filsafat Yunani-Romawi kuno yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun, tapi masih relevan untuk kondisi manusia zaman sekarang. Stoisisme adalah filsafat, bukan agama kepercayaan. Tujuan utama Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, hidup dengan kebajikan (virtue/arete), dan hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.

Inti dari Filosofi Teras adalah sebagai berikut:
"Stoisisme mengajarkan prinsip "hidup harus selaras dengan Alam", yang artinya menggunakan nalar. Semua peristiwa di dalam hidup adalah bagian keterkaitan dan sebab akibat dari semesta yang lebih besar. Ada sebagian hal dalam hidup yang berada di bawah kendali kita, ada yang tidak di bawah kendali kita. Lalu, sumber dari emosi negatif bukanlah peristiwa-peristiwa dalam hidup, tetapi persepsi/anggapan/pendapat kita sendiri atas peristiwa tersebut."

""Hidup harus selaras dengan Alam", yang artinya menggunakan nalar" itu yang seperti apa?
"Hidup selaras dengan Alam", yaitu, sebisa mungkin, di setiap situasi hidup, kita tidak kehilangan nalar dan berlaku seperti binatang, yang akhirnya berujung kepada ketidakbahagiaan.

"Ada sebagian hal dalam hidup yang berada di bawah kendali kita, ada yang tidak di bawah kendali kita" itu apa saja?
  • Hal-hal yang tidak di bawah kendali kita: kekayaan, reputasi, kesehatan, dan opini orang lain. Hal-hal yang di bawah kendali kita: pikiran, opini, persepsi, dan tindakan kita sendiri.
  • Walaupun kekayaan, kesehatan, kecantikan, ketenaran bisa diusahakan, tetapi tidak bisa dijamin tidak bisa diambil dari hidup kita--karenanya mereka termasuk di dalam hal-hal di luar kendali.
  • Belajar menerima hal-hal yang tidak ada di bawah kendali kita bisa membantu kita mengatasi stres.

Kesan setelah membaca buku Filosofi Teras
Selama ini saya merasa sering khawatir dan marah dengan hal-hal yang terjadi di dunia nyata maupun maya. Setelah membaca buku Filosofi Teras dan menonton video dr. Ryu Hasan yang berjudul "Tidak Ada Trauma Masa Lalu", saya merasa bisa lebih legowo terhadap hal-hal tersebut.

Contoh nyatanya?
Saya pernah berinteraksi dengan orang yang bicaranya ceplas-ceplos dan orang yang hobinya mengeluh. Orang yang ceplas-ceplos sudah pernah bilang bahwa dia karakternya memang seperti itu. Awalnya saya selalu memasukkan apa pun yang dia katakan ke dalam hati. Saya juga pernah ingin "menyadarkan" dia untuk tidak boleh seperti itu. Lama-lama ya stres sendiri karena saya tidak punya kuasa untuk mengubah opini orang lain. Yang saya bisa lakukan adalah mengendalikan persepsi saya terhadap omongannya.

Filosofi Teras mengajarkan untuk tidak baperan, tidak sensitif atau mudah terprovokasi, apalagi mudah marah-marah. Menghina ada di bawah kendali orang lain, merasa terhina ada di bawah kendali saya. Omongan teman yang ceplas-ceplos itu adalah salah satu contoh "ketimun pahit" dalam kehidupan. Apa yang kita lakukan ketika makan ketimun pahit? Ya buang saja nggak usah dipikirin. Ketimun pahit adalah urusan remeh yang tidak perlu dibesar-besarkan. Energi yang dikeluarkan untuk marah-marah pada masalah remeh bisa dialihkan ke urusan yang lebih penting.

Sementara untuk orang yang sukanya mengeluh memang harus dihindari. Di dalam buku Filosofi Teras dituliskan seperti ini:
"Pilihlah teman yang tidak bercacat moral; seperti kita tidak ingin bercampur dengan orang sakit agar tidak tertular...khususnya, hindari mereka yang selalu murung dan meratap, dan selalu menemukan alasan untuk mengeluh...sesungguhnya teman yang selalu merasa kesal dan menggerutu adalah musuh bagi kedamaian jiwa kita." (On Tranquility of Mind)
 
Memang banyak sekali manusia yang menurut kita menyebalkan tapi kita tidak bisa serta merta memutus hubungan dengan sesama manusia. Tidak berinteraksi sosial sama dengan hidup tidak selaras dengan Alam. Manusia adalah makhluk sosial. Buku Filosofi Teras mengajarkan untuk:
  • Kewajiban kita adalah terlebih dahulu melakukan hal baik kepada orang lain dan bisa hidup rukun di sisi mereka (minimal bisa menerima/menoleransi keberadaan mereka).
  • Mengajukan keluhan (complaint) dengan tujuan memperbaiki situasi atau orang lain tidak bertentangan dengan Stoisisme. Yang tidak didukung oleh Stoisisme adalah menggerutu dan menggosipkan kesalahan orang lain, tetapi tidak memperbaiki keadaan maupun membuat orang lain menjadi lebih baik.
  • Ketika sudah tidak mungkin untuk mengoreksi atau menoleransi mereka, jalan terakhir adalah menghindari orang-orang tertentu dalam hidup selalu ada. Ini tidak bertentangan dengan prinsip tidak mengisolasi/memotong diri kita dari pergaulan, karena kita masih tetap mempertahankan kehidupan sosial, hanya kualitasnya saja yang dijaga.

Contoh lain?
Saya sepertinya secara tidak sadar menyerap apa pun isu yang berseliweran di dunia maya, terutama X. Di platform tersebut pernah ada bahasan tentang anak yang tidak minta dilahirkan. Isu tersebut bergulir ke mana-mana hingga menyentuh level marah kepada orang tua. Nah, di sini ini saya ikut terbawa arus.

Setelah membaca Filosofi Teras, saya menjadi jauh lebih damai menyikapi isu-isu yang berseliweran di media sosial. "Hidup selaras dengan Alam" salah satunya adalah menyadari bahwa "Alam yang mengundang kita masuk ke dalam hidup. Kita hanya menjalani kehidupan dan hukum alam."

Video dr. Ryu Hasan yang tautannya saya lampirkan di awal postingan ini juga membantu memecahkan masalah ini. Di video tersebut dijelaskan bahwa rata-rata memori manusia dalam waktu satu tahun itu bergeser lima puluh persen. Kalau dua tahun akurasi memori itu cuma dua puluh lima persen. Tiga tahun, akurasi memori kita dua belas setengah persen. "Jadi, jangan terlalu percaya dengan memorimu, ya," kata dr. Ryu.

Memori masa kecil saya kan sudah berlalu sekian puluh tahun, tinggal berapa itu akurasinya? Jadi, menurut saya, mengingat-ingat pola asuh dan kejadian-kejadian yang menurut saya buruk di masa lalu, ya akurasinya sangat rendah. Buat apa. Saya akhirnya berusaha untuk melupakan memori-memori itu karena tingkat akurasinya terus menurun. Saya menjadi lebih bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang tua dengan lebih baik daripada sebelumnya.

Di buku Filosofi Teras juga dituliskan seperti ini:
"Karena anak, istri, dan orang-orang terkasih di sekitarmu itu fana, hargailah setiap momen bersama mereka... ."

Bagaimana dengan kesehatan dan kekayaan yang ternyata di luar kendali kita?
Awal membaca buku Filosofi Teras dulu saya terkejut dengan pernyataan bahwa kesehatan dan kekayaan ada di luar kendali manusia. Pantas saja saya sering stres sendiri ketika mengkhawatirkan kedua hal tersebut.

Lalu usaha menjaga kesehatan sia-sia dong? Bekerja tiap hari juga sia-sia dong kalau kekayaan ada di luar kendali kita? Yang bener aje, Rugi dong.

Ya enggak. Berdasarkan pengalaman pribadi, dengan menjaga kesehatan tubuh seperti berolahraga rutin, tidur cukup, dan makan makanan bergizi serta menghindari makanan yang dilarang oleh dokter, bisa membantu tubuh untuk pulih lebih cepat ketika sakit.

Konsep tentang bekerja dituliskan di buku Filosofi Teras seperti ini:
Rajin bekerja dan berkarya tidak dilihat sebagai sekadar jerih payah untuk bertahan hidup atau memupuk kekayaan, tetapi sudah bagian jati diri manusia.

Sama seperti tumbuhan, burung, semut, laba-laba, dan lebah yang mondar-mandir mengerjakan pekerjaan mereka. Mereka menempatkan dunia ini sebagaimana mestinya dan sebaik-baiknya yang mereka lakukan. Inilah "hidup selaras dengan Alam."

Jika tidak setuju dengan konsep dikotomi kendali, ada konsep yang namanya trikotomi kendali, yaitu sebagai berikut:
Trikotomi kendali dari William Irvine memperkenalkan kategori ketiga "SEBAGIAN di bawah kendali kita", misalnya studi, karier, dan bisnis. Tugas kita adalah memfokuskan pada internal goal yang masih di bawah kendali kita dan selalu siap menerima hasil/outcome.

Anything else?
Hal-hal lain di dalam buku ini yang dibahas adalah sikap untuk menghadapi musibah dan kematian. Di buku ini dituliskan ada pola pikir 3P yang menurut psikolog Martin Seligman bisa menghambat kita untuk pulih dari musibah:
  • Personalization. Menjadikan musibah sebagai kesalahan pribadi.
  • Pervasiveness. Menggangap musibah di satu aspek hidup sebagai musibah di seluruh aspek hidup.
  • Permanence. Keyakinan bahwa akibat dari sebuah musibah/kesulitan akan dirasakan terus-menerus.

Buku Filosofi Teras juga menjelaskan bahwa:
Jika memang hal itu adalah bagian dari Alam, kita diajak menerimanya dengan senang hati. Saat cobaan, kesusahan, dan bencana terasa begitu berat melanda, Stoisisme hanya meminta kita untuk cukup "bertahan", tetap teguh. Sampai akhirnya, cobaan tersebut yang "lelah" sendiri. Keuletan dan ketangguhan sejati bukan datang dari otot atau uang yang kita miliki, tetapi dari pikiran (mind) kita. Inilah kekuatan pikiran kita yang bisa mengubah halangan menjadi jalan itu sendiri. 

Ingat, semua manusia pasti diberi cobaan. Itu sudah terjadi dari zaman dahulu kala. Tidak ada yang baru.

Mengutip dari buku Filosofi Teras, mereka yang mempelajari dan mempraktikkan Stoisisme dalam hidup mendapat sebutan prokopton (bahasa Yunani yang artinya dia yang "sedang berusaha menjadi lebih baik"). Tiga disiplin yang harus terus menerus dilatih oleh seorang prokopton:
  • Disiplin keinginan. Kita semua harus bisa mengendalikan keinginan, ambisi, dan nafsu kita.
  • Disiplin tindakan/perilaku, adalah bagaimana kita berhubungan dengan manusia lain.
  • Dicipline of assent/judgement, menyangkut kemampuan kita mengendalikan opini, interpretasi, value judgement.

Masih dari buku Filosofi Teras, kita diajarkan untuk lebih sadar, aware saat emosi negatif mulai datang. Langkah S-T-A-R (Stop, Think & Asses, Respond) pada dasarnya adalah untuk "mencegat" proses otomatis bereaksi-dengan-emosi-negatif-terhadap-masalah agar tidak kebablasan. Ajaran orang zaman dahulu untuk menghitung sampai sepuluh sebelum mengekspresikan kemarahan mungkin ada benarnya, karena memberi kesempatan untuk "kewarasan" kita pulih kembali. Semakin sering kita mempraktikkan S-T-A-R, lama kelamaan proses sadar ini perlahan akan menjadi kebiasaan.

🧘🧘🧘

Selesai membaca buku Filosofi Teras, saya seperti menemukan "kunci". Isi buku ini menurut saya memberikan solusi dasar atas kekhawatiran yang selama ini saya rasakan. Namun, perlu diingat, bahwa ulasan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya. Pengalaman hidup kamu dan saya bisa jadi sangat berbeda. Jadi, silakan disaring sendiri.

See you on my next post~


**

14 comments :

  1. Wahh sumprit sama reviewnya Mba Endahh... 🤩 Keren banget mbaaa.. Bikin yang belum baca jadi kepengen baca.. Tapi emnk Filosofi Teras sebagus itu sih ya. Aku kenal buku ini lewat Mba Jane.. Pas Awal baca kaya "Ihhhh, ini apa kok ke filosofi-filosofi..." Agak mager tuhhh 🤣... Tapi pas dipaksa "buseeet bagus jugaaaaa...".. Sama kaya pas nnton WandaVision di 3 episode pertama... pembukaannya kaya "Apa sihh.."

    Tapi dari buku ini, kesannya di aku Alhamdulillah lambat laun jadi bisa membagi mana yang memang kendali aku mana yang bukan... Kaya di medsos tuh, Ya ampun akhir-akhir ini kan rame banget politik.. Kritik abis-abisan ke Presiden segala macam. Aku jujur kasihan lihatnya.. Soalnya aku tipe warga yg berusaha mendukung dan selalu berpikir positif soal kebijakan dan keputusan beliau...

    Kdang kalau nggak bisa jaga batasan. Suka ketrigger sama banyak komentar yang berpikir sebaliknya. Sayangnya, aku sring balesin komentar mereka dengan harapan agar penilaian mereka. Tapi ya namanya Manusia, berubah bukan sesuatu yang mudah.. Ya mungkin mereka ada struggle sendiri atau korban hate speech dari orang lain. Cuma kan tetep ya pikirku, ngomong kasar bukanlah hal yang baik.. 🫶

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mas Bay~~ iyaaa aku pun ke buku ini juga nggak langsung aku baca pas selesai beli, aku tunda-tunda terus sampai akhirnya awal tahun ini menata niat untuk baca dan...SUKA BANGET! xD Kenapa nggak dari dulu aja bacanya. xD *kumat*

      Betul, dengan bisa membedakan mana yang bisa kita kendalikan dan yang tidak, bisa bikin hati mayan adem dan pikiran nggak terlalu overthinking. Kehidupan di sosmed tuh beneran deh kadang kita nggak sadar tuh keikuuuut hih, untung aja udah baca Filosofi Teras, paling gak bisa balik waras lagi.

      Delete
  2. Filosofi Teras sudah lama baca dan rekomen banget buat orang-orang yang otak kiri. Yang otak kanan juga ok supaya bisa menambah wawasan. Cuma satu kelemahan dari buku ini, yaitu tidak membahas tentang pentingnya menerima perasaan-perasaan yang hadir. Semua harus dilihat dari sudut pandang yang masuk akal. Padahal kalau seperti itu juga bisa berbahaya karena jadi cenderung tidak mengakui yang nggak masuk akal dan dipendam. Bisa meledak. My two cents tentang buku ini. Paling bagus diimbangi dengan buku lain juga yang bisa melihat dari sisi yang berlawanan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pandangan yang bagus mba Phebie. Kayaknya kita berkebalikan nih pengalamannya, aku dulu kebanyakan baca yang menerima perasaan, jadinya aku terlalu memanjakannya sampai akhirnya ngerasa tetep di situ-situ aja. Dengan baca Filosofi Teras, aku nemu keseimbangan antara buku-buku self-hel yang dulu aku baca dan bagaimana harus menggunakan nalar.

      Delete
  3. setuju dengan Phebs. perasaan setiap orang itu valid. menurut gw, logika dan emosi itu bukan selalu dua sisi yang berlawanan. eksistensinya berjalan beriringan dan saling melengkapi mungkin ya. di beberapa hal yang menurut logika gw emosi juga harus terlibat, maka gw membiarkan emosi gw muncul dan gw terima apa yang muncul dari dalam diri gw itu. setelah itu gw bisa memakai logika gw dengan sehat kembali.

    ini pendapat gw sebelum membaca filosofi teras. mungkin menarik juga kalau ketemu buku tentang logika dan emosi yang dibahas kalau mereka ini coexist dan tidak sepenuhnya berlawanan, karena hidup ini kalau dipikir-pikir lagi gak hanya hitam dan putih tapi ada gradasinya agar supaya smooth peralihannya. demikian komentar hamba. akan ditinjau kembali jika sudah membaca filosofi teras dan membaca bacaan lain untuk menarik kesimpulan yang nantinya akan hamba gunakan dalam menjalani hidup di dunia yang fana ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca komentar pertama u, itu nggak berlawanan dengan apa yang dituliskan di Filosofi Teras. Cus Kak u baca bukunya!

      Delete
  4. Aku yang belum tau bukunya, setertarik itu dengan review yang kamu berikan mba. Berusaha memahami setiap kalimat yang kamu tulis dan akhirnya jadi paham sendiri. Meskipun tidak secara utuh menggambarkan kekhawatiranku, nyatanya hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidup adalah bagian dari alam. Dan itu harus diterima, ditelaah dan ditemukan solusinya. Bukan terus diratapi apalagi dibuat sedih dan disangkut pautkan dengan yang tidak terpaut.

    Lanjut, bertemu dengan manusia-manusia menyebalkan yang se enak jidat judgment sana-sani. Perkataan mereka memang pedas, tapi lama kelamaan rasanya bisa diabaikan jika itu tidak sesuai dengan diri kita, balik lagi biarkan mereka beropini, nah di kitanya tidak perlu memikirkan terlalu dalam supaya tidak menjadi beban pikiran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betulll, well written comment mba Dian~~~ Makasih udah mampir baca dan ngasih komen. Semoga kita bisa lebih less stress menjalani hidup ini ya! <3

      Delete
  5. Dulu zaman sekolah aku blm bisa anggab cuek segala sesuatu yg nyakitin hati. Ntah itu perkataan teman2, atau apapun lah. Semuanya dimasukin ke hati, baper ujung2nya.

    Tapi makin kesini, mulai belajar utk memilah mananyg sebaiknya aku dengerin, mana yg mendingan buang aja ke tong sampah 😂.

    Termasuk teman2 yg toxic di medsos. Udh ga ragu lagi utk unfriend mereka2 yg aku anggab toxic. Toh kita punya medsos tujuannya utk keep in touch dengan teman2 dan utk refreshing. Tapi kalo isi tulisan mereka hanya bisa menghina, menyindir, marah, ngeluh, ya males bacanya. Mending aku unfriend sekalian atau block kalo kelewatan.

    Tapi jadi tau kalo itu semua masuk dlm filosofi teras. Belum baca sih bukunya, mungkin nanti aku cari

    Kalo soal musibah, paling berat mungkin yaa. Tapi memang kita toh diajarkan kalo musibah dan cobaan semua ujian dari Allah utk makhluknya. Dan itu pun udah tertulis semuanya akan terjadi. Jadi langkah terbaik memang menerima. Sedih boleh, tapi jangan terlalu lama. Toh hidup kita trus jalan..aku juga tipe yg ga mau terpuruk dlm sedih. Krn yg rugi sebenerny kita juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Good for you mba Faaan!! Memang kita harus melakukan sesuatu untuk cutting hal-hal yang tidak menyenangkan demi kewarasan diri sendiri. Kalau sempet coba dicari bukunya, bagus dan mungkin cocok juga untuk mba Fanny.

      Beneeer untuk musibah ini agak PR untuk mengatasi perasaan nggak nyamannya huhu. Ajaran di agama juga bisa dijadikan pedoman, cuman yaaa gitu deh kadang kan iman naik turun ya, wkwkwkwk.

      Delete
  6. Sekitar tahun 2020 (pas pandemi) stoikisme mulai populer dan dikenal dalam masyarakat. Salah satu yang sering menjelaskan tentang stoic itu DR. Fahrudin Faiz. Penjelasannya mudah untuk dipahami dan sesuai dengan kondisi sekarang.

    Saat itu pula aku juga mulai belajar tentang stoic. Mulai belajar menerima keadaan dan ga ambil pusing sesuatu yang dikira tidak penting. Cukup diabaikan saja. Lingkungan yang toxic yaa mulai dijauhi. Mulai menjaga jarak pada teman-teman yang sering mengeluh. Mendengar keluh kesahnya sering menghabiskan banyak energi dan akhirnya lelah dengan sendirinya.

    Aku sering nonton videonya dr. ryu hasan atau yang biasa dikenal dengan naman dokdes. Yang paling bagus itu pas podcast dengan sujiwotejo dan gita wiryawan. Kalau video di chanelnya (inside our brain) bagus-bagus. terutama yang obrolan dengan penyanyi atiek cb. Salah satu omongannya yang terkenal adalah kunci kesuksesan bukan kerja keras. Kunci kesuksesan adalah kebetulan. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, stoic ini ternyata menyenangkan. Agak underestimate dulu tuh sama buku ini, hehehehe. Makanya bacanya ditunda-tunda terus😅 Ternyata bagus beneran buat aku.

      Iyaaa aku pernah nonton juga yang sama Pak Gita, terus yang sama Atiek CB juga nonton. Seru obrolannya. Yang sama Sujiwo Tejo belum pernah nonton, habis ini aku cari. Thank you mas Vay infonya.

      Iyaaa aku suka cara pikir dokdes tentang kunci kesuksesan yang ituuu. Dan cara pandangnya terhadap dunia yang dipandang sebagai apa adanya.

      Delete
  7. dari dulu udah ngewishlist buku ini, tapi ga kebeli-beli hahaha
    banyak pelajaran juga yang bisa diambil dari buku ini, kayak melihat realita disekitar kita gitu

    makanya aku ga begitu seneng kalau deket ama mereka mereka yang suka ngeluh, memang sih kita sama sama kerja misalnya, sama sama capek, tapi aku termasuk juarang banget yang koar-koar "aduh aku kesel", misal kayak gitu. Malah aku bikin enjoy aja
    nikmati aja gitu, aku rasa semua pekerjaan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha coba beli mba Ainun kalau misal kepingin lagi dan sempet baca. Bagus isinya. Siapa tau cocok juga.

      Beneeerrr ya Allah capek banget dengerin keluhan tentang kerjaan tuh. Kayak...can you please stop and start enjoying the job that give money to reach your goals?? Aku juga menemukan fakta diri baru bahwa: ngga usah sok-sokan nawarin diri jadi tempat berkeluh kesah, u bukan psikolog. Capek sendiri kan, salah sendiri. xD

      Delete

Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.

Back to Top