October 15, 2018

Check In Jakarta City


Halooo!! Selamat hari Senin~~

Hari ini saya mau cerita tentang jalan-jalan singkat ke ibukota.......satu bulan yang lalu. Akhirnya anak desa ini menginjakkan kaki juga ke kota megapolitan. Gimana ceritanya bisa sampai ke Jakarta?

Jadi begini...

Seperti yang sudah saya tulis di blog sebelah, grup K-Pop Seventeen ngadain konser di Indonesia tanggal 16 September silam. Sebagai fans yang sering ngomongin mereka di blog, kayaknya nggak afdol gitu kalau nggak nonton mereka irl at least once in a life time. Nonton lah ya pada akhirnya.

Konser ini meskipun tajuknya 'Ideal Cut in Jakarta', venue yang dipakai ada di Tangerang Selatan, tepatnya di ICE (Indonesia Convention Exhibition). Berhubung anaknya penganut paham sebaiknya sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui, jadilah tanggal 15-nya mampir dulu sekalian ke Jakarta sebelum ke Tangerang Selatan.

Ada dua bandara yang sama-sama saya kunjungi untuk pertama kalinya dalam perjalanan udara MLG-CGK, yaitu bandara Abd. Saleh dan Bandara Soetta. Iya saya belum pernah ke bandara Abd. Saleh sebelumnya huhu. Bandaranya kecil, rapi, dan nggak terlalu ramai waktu itu.

Sebenernya deg-degan juga waktu perjalanan dari rumah ke bandara. Kuatir kalau nanti di bandara nggak tau alurnya gimana, soalnya biasanya ke bandara rame-rame jadi ngikutin temen aja jalan kemananya hahaha. Alhamdulillah sih petunjuk arah yang ada di bandara Abd. Saleh sangat-sangat jelas dan mudah dimengerti, karena ya memang tempatnya seklutekan gitu doang.




Terus ada boneka balon-kain Bhin-Bhin, Atung, dan Kaka dong di ruang tunggunya!! HUHUHUHUHU...terharu akhirnya ketemu sama mereka juga. Di Malang tuh susah banget nemuin maskot Asian Games 2018 dalam bentuk nyata(?) seperti itu. Kebanyakan hanya gambar-gambar 2D, salah satunya ada di depan bank deket rumah (itu pun cuma Kaka).


Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 1 jam 35 menit itu ternyata nggak selama yang saya bayangkan. Setelah berpisah dengan teman-teman seperkonseran di pintu keluar terminal 2 Soetta (kami bertemu di bandara pas berangkat, satu pesawat, tapi duduknya misah-misah btw), saya menuju ke shelter bus untuk naik bus Damri ke stasiun Gambir. Waktu nunggu bus ini saya bertemu lagi dengan mbak-mbak dan neneknya dari Bekasi yang saya temui waktu antre check-in di bandara Abd. Saleh. Ngobrol-ngobrol lagi sebelum akhirnya berpisah karena bus Damri jurusan Gambir sudah tiba. Nggak sempet kenalan sama beliau berdua. :(


Sepanjang perjalanan dari bandara Soetta ke Gambir, saya perhatikan banyak banget atribut-atribut Asian Games 2018 yang terpasang. Mulai dari gambar di dinding-dinding bangunan, papan reklame, pembatas jalan, pagar jalan tol, sampai gerbong KRL. Di ibukota bener-bener kerasa banget ya kemeriahan Asian Games 2018. Padahal waktu itu Asian Games sudah berakhir dua minggu sebelumnya, gimana waktu masih berlangsung. Wow.


Oh iya betewe tiket bus Damri bisa dibeli terlebih dahulu di loket shelter bus atau bisa juga langsung bayar tunai di dalam bus. Pakai kartu debit juga bisa, tapi kayaknya cuma Mandiri deh yang bisa cmiiw. Harganya empat puluh ribu rupiah. Layar yang menampilkan jadwal ketibaan bus pun ada, petugasnya juga ramah membantu penumpang.

Sampai di stasiun Gambir, saya nunggu seorang teman yang bakal jadi tour guide selama kunjungan super singkat saya ke Jakarta ini. Terima kasih my friend Anna yang tanpa dirimu aku pasti celingukan sendiri di rimba Jakarta Raya.


Kemana saja di Jakarta? Tentu saja ke Monas dan Kota Tua mwehehehe. Dua tujuan mainstream, nggak muluk-muluk karena waktunya terbatas cuma dari siang sampai sore.

Dari stasiun Gambir kami nyebrang ke Monas. Waktu itu jam satu siang yang mana puanas banget bos hohoho. Neduh-neduh sebentar di taman sekeliling Monas. Banyak orang yang piknik di bawah pepohonan juga waktu itu. Lapangan basketnya sepi, yaiya orang lagi siang bolong. Saya cuma lihat tugu Monas dari jauh, nggak minat naik karena antreannya sungguh mengularrr sekali.


Sejarah ringkas tentang Monas bisa dilihat di infografis berikut:

Monas diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto, lima tahun sejak meninggalnya Bung Karno. Presiden pertama RI ini wafat pada 21 Juni 1970.

Penjelasan tentang bentuk Lingga dan Yoni pada Monas:

Bentuk Lingga-Yoni merupakan simbol hubungan sakral antara laki-laki dan perempuan, yang menjadi salah satu unsur khas di banyak candi peninggalan leluhur Nusantara. Bung Karno sendiri mengakui bahwa ia terinspirasi dengan Lingga-Yoni yang terdapat di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Lingga adalah simbol Syiwa (salah satu dewa tertinggi dalam ajaran Hindu) dengan bentuk alat kelamin laki-laki. Sementara Yoni merupakan perlambang kesuburan yang menjadi simbol alat reproduksi perempuan. 

Namun, tentu saja Lingga-Yoni yang mewujud pada bentuk monumen nasional tidak melulu dimaknai dengan konotasi yang boleh jadi dianggap vulgar. Selain sebagai lambang kesuburan pria dan wanita, bentuk Monas yang berupa Lingga-Yoni juga melambangkan alu dan cawan, alat tradisional yang sangat umum bagi rakyat Indonesia, terlebih di pedesaan. Lingga-Yoni bisa pula dimaknai sebagai lambang dua sisi yang selalu ada di dunia ini, misalnya siang-malam, kanan-kiri, dan seterusnya. (sumber)

Lanjut jalan ke Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara. Luuuuuas banget halamannya, pintu masuknya ada banyak tapi yang dibuka hanya pintu tertentu saja. Saya lupa dulu masuknya di pintu yang mana, kayaknya pintu belakang soalnya berlawanan arah dengan pintu yang menghadap Gereja Katedral di depan Istiqlal.

Sejarah Masjid Istiqlal:

Pada 1950, berbagai kelompok Islam di Indonesia menghendaki sebuah Masjid Nasional. Sebuah masjid yang besar, yang akan dibangun di pusat pemerintahan seperti kebanyakan di alun-alun di kota-kota Pulau Jawa.

Sebuah yayasan dan panitia pembangunan masjid berdiri pada 7 Desember 1954. Di dalamnya ada tokoh Islam dan insinyur teknik sipil. 

Ir. Soekarno duduk sebagai ketua juri. Anggota dewan juri terdiri atas Ir. Roesseno, Ir. Djoeanda Kartawijaya, Ir. Ukar Bratakusumah, R. Soertatmoko, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, H. Aboebakar Atjeh, dan Oemar Huseim Amin. Mereka adalah para juri akan menjadi penilai dalam sayembara rancang bangun masjid yang kini bernama Istiqlal. Sayembara berlangsung sejak 22 Februari 1955 hingga 30 Mei 1955.

Di Istana Negara, pada 5 Juli 1955, dewan juri akhirnya menetapkan desain bersandi Ketuhahan milik Friedrich Silaban sebagai pemenang. Silaban menganut gaya fungsionalis pada karya-karyanya. Beliau pernah mengatakan bahwa arsitektur yang baik adalah arsitektur yang sesederhana, seringkas, dan sejelas mungkin, semua hal yang tidak mutlak dibutuhkan suatu bangunan tidak perlu diadakan.

Peletakan batu pertama pembangunan masjid di bekas Taman Wilhelmina dan benteng yang dulu pernah ada, baru dilakukan pada 24 Agustus 1961. Sebelum sukses diresmikan, pembangunan masjid ini tidak lancar karena berbagai macam alasan. Apalagi setelah G30S 1965, terjadi suksesi kepemimpinan di Indonesia. Akhirnya, setelah memakan waktu 17 tahun untuk menuntaskannya, pada 22 Februari 1978, masjid yang dalam bahasa Arab berarti Merdeka ini, resmi dibuka. (sumber)



Sebenernya saya pingin sekalian lihat-lihat bangunan Gereja Katedral yang ada di depan Istiqlal. Mumpung teman saya ini anak gereja gitu kan jadi eksplorasinya bisa lancar tapi nggak jadi karena kami berdua keburu laper dan gerah wkwk.


Waktu itu kami makan soto Betawi di sebuah lapak di pinggir area Monas. Sotonya unik juga buat saya yang bukan anak Betawi ini, ada tomat merahnya. Seumur-umur baru tau ada tomat di dalam soto. Wawasan kuliner saya sepertinya harus diperluas ini dengan cara nonton mz Nicsap di film 'Aruna dan Lidahnya'. Rasa kuah soto dan nasinya enak, sesuai dengan lidah saya. Suwiran daging ayamnya juga enak. Yang nggak enak adalah bau urin semriwing yang kadang kecium di tengah-tengah acara mengunyah makanan. Heol...Jakarta-nim...

Ada yang suka beli kaos bertuliskan nama daerah wisata yang lagi dikunjungi nggak? Kalau ada tos sini dulu. Awalnya nggak ada niat beli kaos di sekitaran Monas, cuman karena ibu saya bilang gapapa beli aja buat kenang-kenangan wakakakak ya sudah beli akhirnya. Membiayai tiga belas pria yang lebih kaya saja bisa, masa beli kaos murce goban-dapat-tiga buat diri sendiri mikir-mikir dulu, kan nganu ya. Kainnya tipisss...ada harga ada rupa, mayan buat dipakai di rumah pas lagi panas-panas.

Setelah ngecharge energi selesai, perjalanan berlanjut ke Kota Tua dengan naik TransJakarta jurusan(?) Kota Tua yang bebas biaya itu. Busnya tingkat dua dan kami memilih untuk duduk di atas. Sopir busnya ibu-ibu lho hebat bukan. Terus ada official tour guide juga di dalam bus, mantap bisa nambah pengetahuan tentang rute-rute yang dilewati. Mas tour guide ini kocak banget sumpah, menghibur sekali, bahkan turis dari Maroko yang waktu itu satu bus juga sampai memuji masnya. Katanya "you choose the right career".



Sampai di Kota Tua...suasananya rame banget banget banget. Yang jalan kaki banyak, yang naik sepeda pancal(?) juga banyak, delman juga ada, tumplek blek di situ semua. Dari mulai balita sampai kakek-nenek ada semua. Seru. Daaaaan.....ADA PATUNG BHIN-BHIN, ATUNG, DAN KAKA!!!!!! YEAY.....akhirnya keinginan untuk foto bareng maskot-maskot menggemaskan ini terwujud juga di Kota Tua. Seeksaytid itu saya sama Asian Games 2018, kapan lagi kan ya Indonesia jadi tuan rumah hajatan olahraga bangsa-bangsa se-Asia. Sebagai saksi sejarah ya harus memanfaatkan momen yang ada semaksimal mungkin hahahah.



Tentang salah satu area Kota Tua yang saya kunjungi waktu itu:

Kawasan Kota Tua resmi menjadi warisan sejarah setelah diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1972. Kawasan tersebut adalah daerah perdagangan yang dulu dikenal dengan nama Sunda Kepala. Pada masa itu Sunda Kelapa merupakan tempat pertemuan para pedagang mancanegara dari China, India, Arab, dan kemudian Eropa.

Di kawasan Kota Tua terdapat Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Bahari, Museum Seni dan Keramik, Museum Mandiri dan Museum Bank Indonesia.

Dari semua museum itu, Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah merupakan yang paling populer. Bangunan museum itu berdiri megah di tengah-tengah Taman Fatahillah yang berdiri sejak 1712 sebagai Balai Kota Batavia. (sumber)




Karena sudah sore maka mainnya cuma sebentar di Kota Tua. Saya harus cus ke Tangerang Selatan. Ke Tangerang Selatannya naik apa? Awalnya saya udah pasrah naik mobil ojek online berapa pun tarifnya huhu. Tapi puji syukur alhamdulillah teman saya ini sangat-sangat wow sekali jiwa transportasi publiknya, di saat saya seneng-seneng dengerin dongengan Bang Ipul (tour guide TransJakarta), dia nyari rute KRL buat saya supaya bisa sampai ke Tangerang Selatan dengan budget yang nggak terlalu mahal. *peluk erat Anna*

Fotonya menghadap matahari sore agar supaya.

Kami masuk ke stasiun Jakarta Kota di dekat Kota Tua dan antre beli tiket di mesin tiket. Teman saya ambil rute ke Cawang, saya ke Pondok Ranji. Kalau nggak salah ingat ya, harga tiketnya masing-masing lima belas ribu. Sepuluh ribunya nanti bisa didapatkan kembali pada saat mengembalikan kartu KRL di stasiun tujuan (lupa nama kartunya apa), jadi harga bersihnya lima ribu rupiah saja. Kami berpisah di stasiun Manggarai.


Dan...saya sendirian melanjutkan perjalanan ke stasiun Tanah Abang untuk ganti kereta sebelum ke Pondok Ranji. Deg-degan banget hahahaha soalnya selama ini saya sering baca-baca info yang bikin ngeri gitu lho tentang KRL di ibukota. Tentang pelecehan seksual lah, tentang orang aneh yang tiba-tiba narik jilbab secara random lah, tentang copet lah. TAPI ALHAMDULILLAH PERJALANAN SAYA LANCAR JAYA.

Mongomong stasiun Tanah Abang padettt buangettt ya isinya. Untung saja papan petunjuk rutenya jelas jadi nggak nyasar ikut arus orang-orang. Petugasnya juga waktu itu standby di sebelah kereta jadi bisa memastikan kembali apakah kereta yang akan dinaiki sudah merupakan kereta yang tepat.

Jakarta memberikan kesan positif selama lima jam (wqwq) keberadaan saya di atas tanahnya. Jalan-jalan sekejab gitu aja udah seneng saya. Pingin balik lagi deh kapan-kapan biar bisa eksplor museum-museumnya juga. :D


*

2 comments :

  1. Pengakuan dari yang lahir dan hidup selama 17 tahun di Jakarta: aku belum pernah naik ke atasnya monas dan masuk istiqlal wkwkwk kalau museum yang di monas (yang di bawahnya) pernah :D Seru kan Endah naik KRL? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha kapan-kapan naik sama-sama yuk :p

      Lhoh?? Aku baru tau ada museum di bawahnya :')

      Iya kak bisa sambil lihat-lihat jakarta dari dalam gerbong wkwk

      Delete

Halo! Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar. Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu.

Back to Top